Selasa, 04 September 2007

Uang dan Peradaban

Pembaca, saat pertama kali saya berkenalan dengan uang - tepatnya kira-kira usia +/- 5 tahunan - adalah sangat heran bahwa dengan memberikan segenggam benda aneh kepada seseorang, saya mendapatkan barang yang saya inginkan. Berdasarkan peristiwa tersebut, seiring dengan bertambahnya usia saya, makin menjadi keinginan untuk memiliki uang dengan sebanyak-banyaknya. Berbagai cara saya usahakan untuk mendapatkan, meminta, mengoleksi bahkan merampas uang untuk menjadi milik saya pun saya lakukan. Saat saku atau dompet kecil saya penuh berisi uang, saya merasa bahwa saya bisa mendapatkan atau memiliki apa saja yang saya inginkan. Berbagai perasaan senang, riang bahkan jumawa pun seringkali terlintas saat berlimpahnya uang dalam kantong saya. Dengan uang pun saya merasa bahwa saya dapat membahagiakan orang-orang yang saya rasakan kurang beekemampuan.

Singkatnya, saya bisa membeli segala perasaan bahagia dan senang dengan uang.

Sebaliknya, seiring menipisnya jumlah uang yang saya miliki demikian juga dengan perasaan saya. Mudah marah, uring-uringan bahkan cenderung malas melakukan aktivitas. Luar biasa hebatnya efek uang dalam psikologi saya saat itu.

Hal itu akhirnya membuat saya berkesimpulan bahwa saya harus memiliki uang dalam jumlah yang sangat banyak dan dengan berbagai cara.

Berbagai usaha mendapatkan uang menjadikan saya tertarik untuk mengejar pengetahuan tentang ilmu uang dan segala tetek bengeknya. Mulai dari sistem kurs, uang sebagai devisa, tata niaga uang, sistem mata uang mengambang dan segala macam kembangan dari ilmu tentang uang, baik yang micro maupun yang macro.

Hal yang utama tentang uang yang saya simpulkan adalah tentang resep keuangan dan sistem uang yang makin berubah menjadi dari sebuat alat tukar menjadi "barang dagangan" itu sendiri.

Menurut saya ini sudah kebablasan. Bagaimana mungkin sebuah alat penilai tukar barang di jadikan sebagai barang itu sendiri?? Menurut saya, hal ini sangat tidak sesuai dengan fungsi awal dan roh dari suatu sistem alat penilai tukar-menukar barang itu sendiri. Dimana nilai tukar barang tersebut -uang- banyak sekali digandoli dengan berbagai indikasi dan faktor yang akhirnya hanya akan menguntungkan 'salah satu pihak tertentu'. Dengan begitu hilanglah sudah fungsi uang sebagai alat PENILAI ALAT TUKAR. Saat ini uang adalah sarana pihak-pihak tertentu yang hanya ingin memuaskan dahaga akan kekayaan materi saja. Hilanglah roh dan jiwa uang sebagai alat pengukur keadilan transaksi satu pihak ke pihak lain.

Sekedar ulasan tentang uang, artikel ini layak di baca dan diresapi:

Tentang uang, kita jadi gamang. Malu-malu kucing. Cinta-cinta benci. Tak ada orang mau disebut rakus akan uang, meski di brankasnya tidur nyenyak atau meringkuk miliaran, atau bahkkan trilyunan dolllar, atau Euro.

Orang bisa tertawa bahagia karena uang. Tidak kurang-kurang jumlah orang yang wajahnya jadi gelap gulita sepanjang usia, gara-gara uang. Uang bisa membuat orang marah, pusing, atau lega. Bisa membuat orang bersiul, berteman, berantem, atau saling mencurigai. Di kalangan bawah, uang bisa membuat mereka jadi orang amat sabar, jadi teroris, pengemis, atau menjadi orang mudah heran. Di kalangan tengah dan atas, uang bisa membuat mereka menjadi penderma sejati (sedikit ) atau menjadi pembohong (banyak).

Jadi, apa sejatinya uang? Mungkin kita bingung menjawabnya. Paling banter, kita hanya bisa menjawab kata-kata padanannya. Arto. Yatra. Duit. Fulus. Geld. Money. Dan seterusnya. Yang jelas, kalau mau jujur, kita sibuk begini atau begitu dengan seribu satu alasan itu, kadang-kadang ujungnya ya cuma sekedar mencari uang. Tak ada yang keliru di sini. Cari uang jadi keliru, ketika uang akhirnya jadi segalanya. Jadi dewa. Jadi Tuhan. Jadi Yang Mahakuasa. Dan agaknya, hal macam inilah yang saat ini kita hidupi. Meski mungkin tanpa kita mengerti. Tidak mengerti tidak apa-apa. Asal masih bisa merasa. Nah, sejenak mari kita rasakan, bagaimana uang bisa merangkak dan akhirnya menjadi "Tuhan".

Uang hadir di mana-mana. Juga menyengat otak kita! Ia menyergap tiap sudut kehidupan. Dewasa ini ia bukan cuma hadir, bahkan menjajah. Penjajahannya kian luas dan dahsyat sehingga menjadi "Tuhan". Ini bukan ibarat, tapi nyata. Uang betul-betul jadi Mahakuasa yang Nyata. Juga, ini tak bersangkutpaut dengan tercetaknya kata Tuhan dalam mata uang, misalnya dolar. Sebab, maksud yang sebenarnya mengingatkan tiap pemegang uang akan Tuhan, rupanya telah gagal. Bukannya orang makin ingat Tuhan. Uang justru menjadi "Tuhan" yang lain. O, kekeliruan peradaban yang dahsyat!

Maka, perlu digugat!

Kita gugat hubungan uang dengan Tuhan. Yang paling menonjol dalam perkara mempertuhankan uang, adalah dalam mekanisme ekonomi. Dewasa ini, mekanisme ekonomi itu telah mengental dan tinggal menjadi sebuah kata: globalisasi. Jadi, globalisasi yang disambut riuh di seluruh jagat itu, hakikatnya cuma mempertuhankan uang di atas manusia dan peradaban!

Kesimpulan di atas tentu saja tidak semudah rumusan akhirnya. Ia telah melalui penelusuran panjang. Beradab-abad. Ziarah mekanisme ekonomi tsb panjang merangkum filsafat, teologi, aneka bidang keilmuan, sejarah, budaya, politik dan seterusnya yang ujungnya melahirkan garis-garis politik. Lalu lahir kiprah ekonomi, puncaknya uang, yang berdampak luas menentukan sifat dan perilaku manusia.

Perilaku manusia akibat dijajah uang begitu mencolok. Ini tampak dalam 1001 laku baik dan buruk, yang dasar dan tujuan akhirnya ialah uang. Gejala laku baik ialah orang bekerja cari nafkah yang melahirkan aneka macam pekerjaan. Gejala laku buruk lebih rumit. Ini berupa laku dan atau profesi yang menyimpang. Contohnya banyaak. Demi uang orang jadi maling dan segala ikutannya semacam garong, todong, kolusi, korupsi, manipulasi, kongkalikong dan lain-lain. Juga, demi uang orang membunuh. Ngemplang hutang. Mengangkangi tempat empuk. Ngibul. Demi uang lahir mafia pembakar dan pengkapling hutan negara, penyelundupan termasuk xtc, manipulasi pajak, lahir diploma atau SIM atau skripsi aspal, lahir bisnis electricprods dari negara industri munafik ke negara yang alat negaranya masih biadab sebab lebih percaya penyiksaan katimbang kecerdasan otak. Dan, tak ada habisnya.

Bahwa perilaku manusia jadi "gila" uang, bukankah itu masalah manusianya, dan bukan masalah uang? Uang sendiri tidak berbuat apa-apa bukan? Justru inilah pertanyaan moral - sebagai bagian peradaban - yang perlu dikaji oleh semua orang yang beradab. Inti soalnya: kiprah peradaban (filsafat, teologi, agama) tak boleh menafikan ekonomi. Urusan agama bukan cuma Tuhan. Dalam agama, Tuhan tak bisa disebut tanpa lebih dulu menyebut manusia dengan segala ihwal-perkaranya.

Begitu pula ekonomi. Urusan pokok ekonomi antara lain membuka arahan ekonomis masa depan. Dan itu bukan melulu soal uang, saham, akumulasi rezeki dan sejenisnya. Ekonomi juga memikul tugas sospolbudhankam alias peradaban.

Manakala garis arah ke depan itu didayagunakan, ia akan melibatkan dan atau muncul dalam keputusan-keputusan politis. Akibatnya, muncul berbagai pendekatan ekonomis yang warna-warni, seabrek, dan malang melintang yang tingkahnya tergantung guru, padepokan, universitas, sirkuit dan ismenya masing-masing. Singkatnya, mekanisme pokal ekonomi ditentukan oleh mekanisme politik yang berlaku.

Jadi, keberadaaan ekonomi - baca: mekanisme ekonomi yang berujung pada globalisasi - tidak netral. Ia memihak, nyanthel pada kiblat politis tertentu. Ini berdampak luas. Tiap orang kena. Maka ekonomi yang beradab, atau pas dalam peradababan, adalah ekonomi yang sistemnya bersimpati pada masyarakat banyak.

Kenyataan, kiprah ekonomi yang nyata tidak begitu. Watak ekonomi yang amat merajalela saat ini adalah penumpukan uang. Ini diperoleh dari hasil penjualan barang niaga. Jadi, barang dagangan dan daya jual jadi kata kunci. Makin punya barang niaga yang berdaya jual kuat, Anda akan makin diperhitungkan dan memperoleh simpati. Dalam rangka macam itu, tak mengherankan jika kelestarian alam, pendidikan, pemberantasan kemiskinan, pengangguran, pelayanan kesehatan dan sejenisnya nyaris tidak masuk hitungan atau sekedar "pura-pura diperhitungkan". Sebab, mereka bukan barang niaga, sehingga tidak punya daya jual.

Padahal itu semua kebutuhan dasar. Jika suatu kebutuhan dasar tidak masuk hitungan, tentu ada faktor X , sehingga mereka tidak terlihat, atau tersembunyi dalam ekonomi. Penyebabnya: para ekonom dan atau para perancang kebijakan ekonomi kurang "awas" atau tidak bersimpati pada hal itu.

Di mana letak faxtor-X tersebut? Dalam ekonomi atau dalam tampilan kebutuhan-kebutuhan dasar itu sendiri? Di sini, ekonomi, secara sendiri, tak bisa memberi jawab. Ia butuh bantuan banyak disiplin ilmu, antara lain teologi dan filsafat, sebagai dasar dalam ilmu-ilmu peradaban. Jika ini terjadi, diharapkan suatu saat akan muncul dua jalur pendekatan dalam ekonomi dan peradaban. Yang pertama, akan muncul ekonomi yang secara peradaban bisa dipertanggung jawabkan. Inilah ekonomi yang bermoral. Yang kedua adalah ilmu peradaban - filsafat, teologi, agama - yang secara ekonomis bisa dijalankan.

Nah, inilah peradaban yang membumi!

Tidak ada komentar: