Rabu, 24 Juni 2015

Kertanagara mungkin merupakan satu-satunya tokoh Nusantara yang "terpaksa” harus dicatat dalam perjalanan sejarah dunia ketika berbicara mengenai  Mongol. Ia lah tokoh yang membuat Nusantara menjadi satu dari dua kerajaan yang tidak pernah dapat ditaklukan hegemoni Mongol setelah Jepang, meskipun kemudian jepang dalam beberapa tafsiran sejarah dinyatakan melakukan pembayaran rutin (upeti) terhadap Mongol sehingga Mongol kemudian tidak meneruskan ekspedisi penaklukannya ke Jepang.



Ekspedisi Pamalayu, otonomi daerah, merupakan beberapa kebijakan yang menjadi terobosan pada masa pemerintahan Kertanagara. Nagarakratagama/Desawarnana, menempatkan masa pemerintahan raja Kertanagara kedalam sebuah pembahasan khusus. Kitab Pujasastra yang digubah dizaman Hayam Wuruk ini menempatkannya sebagai seorang Yogin sejati pengikut Tantrisme Subhuti. Ciri khas keagamaan Tantrisnya melahirkan konsepsi religius sinkretis Hindhu-Buddha, yang menurut Prof. Aminuddin Kasdi, yang dikutipnya dari pendapat Soekmono dan Krom, sebagai Tantrisme Kalacakra. Tak ayal kemudian, konsep religius ini mempengaruhi jalan kebijakan politik yang Kertanagara tempuh. Dibawah ini, kami sajikan sebuah makalah yang mengungkap secara gamblang mengenai seorang Kertanegara beserta pandangan Politiknya dan pandangannya terhadap Agama.

BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang

     Pemerintahan raja Kertanagara sangat menarik perhatian , karena selama Kertanagara memegang pemerintahan, terjadi berbegai peristiwa sejarah yang penting untuk diketahui. Pemberitaan peristiwa sejarah itu pun kadang-kadang menimbulkan persoalan yang meminta pemecahan dari para ahli sejarah karena penjelasan mengenai jalannya peristiwa masih gelap. Demikianlah untuk memahami jalannya peristiwa sejarah dalam pemerintahan raja Kertanagara, khususnya kita harus mencurahkan perhatian sepenuhnya.

     Peristiwa sejarah penting yang masih simpang siur pemberitaannya, seperti ekspedisi Pamalayu atau perluasan cakrawala mandala, pemberontakan dalam negeri, pergantian para wreddha patih dan pengangkatan para yuwa patih, serta kejatuhan Kertanagara sebagai akhir dari kekuasaan Singhasari atau dinasti Rajasa.

     Tinjauan antropolitik, sosiokultural, dan religi sangat diperlukan demi terangnya masa-masa peralihan dari Singhasari ke Majapahit ini. Pemusatan kajian dan pendekatan antropologi tidak bisa dipungkiri menjadi pilihan akhir dari metode penelitian atas pemerintahan Kertanagara, khususnya sebagai bagian dari analisis mikro raja-raja dinasti Rajasa. Atas dasar itulah makalah ini dibuat dengan judul, Singhasari, Masa Keemasan Kertanagara dan Keruntuhan Dinasti Rajasa, Analasis Antroreligi, Antropolitik, dan Sosiokultural atas Pemerintahan Kertanagara.

2.    Permasalahan

     Pemerintahan Kertanagara merupakan masa keemasan Singhasari dan merupakan zaman lahirnya embrio gagasan Nusantara berupa perluasan cakrawala mandala yang diwujudkan dalam ekspedisi Pamalayu. Namun ironisnya, kemajuan disatu pihak beriringan denga kemunduran dipihak lain yaitu, pemeberontakan Jayakatwang sebagai titik didih perlawanan atas sikap ahangkara raja Kertanagara. Peristiwa-peristiwa sejarah disekitar masa Kertanagara mengandung paradoks yang melahirkan pertanyaan, jika demikian bagaimanakan kiranya bila masa Kertanagara dikaji dari sudut pandang antropologi prespektif religi antropolitik, dan sosiokultural berkaitan dengan kejatuhan Singhasari?

3.    Batasan Masalah

     Makalah ini terbatas membahas masa akhir Singhasari terfokus pada masa pemerintahan Kartanagara ( 1254-1292 M) dari prespektif antropologi. Dan terlepas dari kajian antropologi dari prespektif ekonomi.


BAB II
HISTORIOGRAFI MASA PEMERINTAHAN RAJA KERTANAGARA

     Negarakretagama pupuh 41/3 menguraikan bahwa pada tahun 1176 Saka (1254 M) Raja Wisnuwardhana menobatkan putranya. Segenap raja Janggala dan Panjalu datang ke Tumapel untuk menghadiri upacara penobatan itu. Setelah dinobatkan, putra mahkota mengambil nama abhiseka Sri Kertanagara.

     Uraian diatas seolah-oleh memberi kesan pada tahun 1254 itu, Wisnuwardhana menyerahkan kekuasaannya kepada putranya Kertanagara. Hal itu tidak benar karena dalam prasasti Mula-Malurung dinyatakan dengan jelas bahwa pada tahun 1255 Wisnuwardhana masih memerintah di Tumapel, sebagai raja agung yang menguasai Janggala dan Panjalu. Raja Kertanagara dinobatkan di Daha sebagai raja bawahan atau raja muda-yuwaraja. Berkat kelahirannya dari perkawinan Wisnuwardhana dengan Permaisuri Waning Hyun, Kertanagara mempunyai kedudukan sebagai raja mahkota, mengepalai raja-raja bawahan lainnya. Sebagai raja bawahan yang memerintah Daha, ia mempunyai hak untuk mengeluarkan prasasti diwilayahnya. Hal itu memang terjadi. Prasasti Pakis Wetan, bertarikh 8 Februari 1267, dikeluarkan oleh raja Kertanagara pada waktu raja Wisnuwardhana masih hidup.[1] Baru sepeninggal raja Wisnuwardhana pada tahun 1270[2], Kertanagara bertindak sebagai raja agung menguasai Singhasari[3] dan Kediri seperti mendiang Wisnuardhana.

     Kidung Panji Wijayakrama pupuh 1 menguraikan watak Sri Kertanagara, yang juga bergelar Siwa-Buddha,[4] seperi berikut: 

“Raja Kertanagara mempunyai mahamantri, bernama Mpu Raganata. Mpu Raganata adalah orang baik, jujur dan pemberani. Tanpa tedeng aling-aling, ia berani mengemukakan keberatan-keberatannya terhadap sikap dan pimpinan sang Prabu. Hubungannya dengan Prabu Kertanagara disamakan dengan hubungan Patih Sri Laksmikirana dengan Prabu Sri Cayapurusa dalam cerita Singhalanggala. Juga patih Sri Laksmikirana bersikap jujur, berani membantah dan mencela sikap sang Prabu Cayapurusa. Prabu Kertanagara yang berwatak angkuh dan sadar akan kekuatan dan kekuasaannya (ahangkara), menolak mentah-mentah pendapat dam keberatan Mpu Raganata bahkam beliau menjadi muram lagi murka, seolah-olah disiram dengan kejahatan, mendengar ujaran Mpu Raganata. Dengan serta merta Mpu Raganata dipecat dari jabatannya, digantikan oleh Mahisa Anengah Panji Angragani.”

     Dalam Kidung Harasawijaya pupuh 1/28b sampai 30a, disebut dengan jelas bahwa Prabu Kertanagara melorot Mpu Raganata dari kedudukannya sebagai patih amangkubhumi menjadi ramadhyaksa di Tumapel. Mpu Raganata kecewa, tidak senang dengan pemerintahan Sang Prabu. Dikatakan dalam kidung tersebut, asmu ewa sang mantri wrédha rirehira sang ahulun. Wiraraja dilorot kedudukannya sebagai demung menjadi adipati di Madura Timur. Ia tidak senang terhadap pemerintahan Raja Kertanagara. Dikatakan, tan trepti rehing nagari arawat-rawat kewuh. Tumenggung Wirekreti dilorot kedudukannya sebagai tumenggung menjadi mantri angabhaya (menteri pembantu). Pujangga Santasemereti meninggalkan Pura untuk bertapa di hutan. Pupuh 1/82a menguraikan bahwa penurunan Wiraraja dari jabatan demung manjadi adipati sangat melukai hati dan menimbulkan kemarahan. Dari percakapan antara Wirondaya dan Raja Jayakatwang, dalam pupuh 2/16a-16b dengan jelas diceritakan, bahwa sejak pemecatan para wreddha mantri dan pengangkatan yuwa mantri (menteri muda) rakyat tidak senang terhadap sikap Sang Prabu Kertanagara. Perbuatan itu menimbulkan kegelisahan dan kesenjangan antara generasi tua zaman Wisnuwardhana yang masih hidup dengan generasi muda zaman Kertanagara yang mendukung gagasan perluasan cakrawala mandala.

      Demikianlah sepeninggal Wisnuwardhana dan Bhatara Narasinghamurti, Prabu Kertanagara segera mengadakan perubahan besar-besaran dalam bidang administrasi untuk disesuaikan dengan pelaksanaan politik ekspansinya. Para pembesar yang telah lama mengabdi dalam pemerintahan Prabu Wisnuwardhana dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan politik baru yang akan dijalankan oleh Prabu Kertanagara, disingkirkan dan diganti oleh tenaga-tenaga baru, yang menyetujui gagasan politik Sang Prabu Kertanagara. Perubahan itu menimbulkan kegelisahan diantara para pengawal dan rakyat.

     Nama Mpu Raganata tidak tercatat dalam prasasti Sarwadharma yang dikeluarkan pada bulan Kartika tahun 1191 Saka (Oktober-November 1269). Pada prasasti tersebut , yang tercatat ialah Patih Kebo Arema dan Sang Ramapati, yang sangat dipuja sebagai penasehat politik sang prabu dalam mengadakan hubungan dengan pembesar-pembesar di Madura dan Nusantara. Sang Ramapati mengepalai kabinet menteri yang terdiri dari patih, demung, tumenggung, rangga, dan kanuruhan. Melihat fungsinya dalam pemerintahan, kiranya Sang Ramapati dalam prasasti Sarwadharma itu sama dengan Mpu Raganata dalam Pararaton dan Kidung Harsawijaya ataupun Panji Wijayakrama.

     Timbullah pemberontakan bersenjata yang mengejutkan Prabu Kertanagara. Kidung Panji Wijayakrama pupuh 1 menyebut pemberontakan Kelana Bhayangkara, dan Negarakretagama pupuh 41/4 pemberontakan Cayaraja.[5] Pemberontakan-pemberontakan itu, meskipun akhirnya dapat ditumpas, menghambat pelaksanaan gagasan politik perluasan wilayah. Untuk dapat menngirim tentara ke seberang lautan, kekeruhan didalam negeri harus diatasi dulu.

     Pararaton, Kidung Panji Wijayakrama, Kidung Harsawijaya, dan Negarakretagama pupuh 41, semuanya menyebutkan pengiriman tentara Singhasari ke negeri Melayu (Suwarbabhumi) pada tahun Saka 1187 (1275 M), lima tahun setelah pecahnya pemberontakan Kelana Bhayangkara atau Cayaraja. Dalam Kidung Harsawijaya, dinyatakan bahwa nasehat Raganata tentang pengiriman tentara ke Suwarnabhumi ditolak oleh Prabu Kertanagara. Raganata mengingatkan sang prabu tentang kemungkinan balas dendam Raja Jayakatwang dari Kediri terhadap Singhasari, sebab Singhasari dalam keadaan kosong akibat pengiriman tentara ke Suwarnabhumi. Prabu Kertanagara berpendapat, raja bawahan Jayakatwang tidak akan memberontak karena beliau berutang budi kepada sang prabu.[6] Jayakatwang adalah bekas pengalasan (pegawai) keraton Singhasari, yang diangkat sebagai raja bawahan di Kediri oleh Sri Kertanagara.[7] Gagasan pengiriman tentara ke Suwarnabhumi dapat dukungan penuh dari Mahisa Anengah, pengganti Raganata. Demikianlah diputuskan untuk mengirimkan tentara ke Melayu. Keputusan itu dilaksanakan pada tahun 1275 M. Dalam sastra sejarah Jawa kuno, ekpedisi ke Melayu itu biasa disebut Pamalayu atau perang Malayu.[8] Ekspedisi ke Malayu berhasil baik. Tentara Singhasari berhasil menundukkan raja Malayu, Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa di Dharmasraya, yang berpusat di Jambi dan menguasai Selat Malaka. Terbukti dari isi prasasti pada alas arca Amoghapasa dari Padangroco yang dikeluarkan oleh Sri Kertanagara pada bulan Bharadhapada tahun Saka 1208 (Agustus-Sepetember 1286 M).[9] Bunyinya sebagai berikut:[10]
 
“Salam bahagia! Pada tahun Saka 1208, bulan Bhadrapada, hari pertama bulan naik, hari Mawulu, Wage, hari Kamis, wuku Madangkungan, letak raja bintang di barat daya... tatkala itulah arca paduka Amoghapasa Lokeswara dengan empat belas pengikut serta saptaratna-tujuh ratna permata,[11] dibawa dari bumi Jawa ke Suwarnabhumi ditegakkan di Dharmasraya, sebagai hadiah Sri Wiswarupa. Untuk tujuan tersebut, Sri Kertanagara Wikramottunggadewa memerintahkan rakryan mahamantri Dyah Adwayabrahma, rakryan sirikan Dyah Sugatabrahma, payanan Hyang Dipangkaradasa, rakryan demung Wira, untuk menghantar paduka arca Amoghapasa.

Semoga hadiah itu membuat gembira segenap penduduk negeri Malayu, termasuk para brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan terutama pusat segenap para arya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa.”
 
     Negarakretagama pupuh 41/5 menguraikan bahwa Prabu Kertanagara dengan pengiriman tentara itu sebenarnya mengharapkan agar Raja Dharmasraya tunduk begitu saja karena takut akan kesaktian sang prabu. Ekspedisi ke negeri Malayu yang berjaya gilang-gemilang, mempunyai akibat yang sangat buruk didalam negeri. Pada tahun 1280 M., timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Mahisa Rangkah[12] menurut pemberitaan Negarakretagama pupuh 42/1. Pembesar-pembesar yang kena pecat, terutama adipati Wiraraja di Sumenep, mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam dan melampiaskan kemarahannya kepada Sri Kertanagara. Ia menghasut raja bawahan Jayakatwang dari Kediri yang berkuasa di Gelang-gelang untuk memberontak dengan cara mengirim surat[13] pada tahun Saka 1214 atau 1292 M, seperti berikut:
 
“Patih memberitahukan kepada sang prabu.  Padukanata dapat disamakan dengan orang yang sedang berburu, hendaklah waspada memilih saat dan tempat yang setepat-tepatnya. Pergunakan saat yang sebaik-baiknya. Sekarang inilah saat yang paling baik dan paling tepat. Tegal sedang tandus; tidak ada rumput, tidak ada ilalang; daun-daun sedang gugur, berhamburan ketanah. Bukitnya kecil-kecil, jurangnya tidak berbahaya, hanya didiami harimau yang sama sekali tidak menakutkan. Tidak ada kerbau, sapi, dan rusa yang bertanduk. Jika mereka sedang menyenggut, baiklah mereka diburu. Pasti tidak berdaya. Satu-satunya harimau yang tinggal adalah harimau guguh, sudah tua renta, yakni empu Raganata.”[14]
 
     Dari surat hasutan Wiraraja diatas, nyata bahwa Singhasari dalam keadaaan kosong. Tidak ada lagi orang yang dapat dibanggakan. Raganata adalah satu-satunya pembesar, yang terpandang sebagai pahlawan, namun ia sudah tua renta, seperti harimau kawakan, yang tidak lagi bergigi. Meskipun demikian, raja Kertanagara segan menyadari kenyataaan itu. Beliau berani menolak permintaan Meng Khi, utusan Kaisar Cina Kubilai Khan, untuk mengakui kekuasaan kaisar dan mengirim utusan ke Tiongkok dengan membawa upeti sebagai tanda takluk.[15] Meng Ki dipahat dahinya dan disuruh pulang.[16] Hinaan terhadap utusan Kaisar Tiongkok itu berlangsung pada tahun 1289 M. Prabu Kertanagara segan tunduk kepada kemauan Kaisar Kubilai, apalagi takluk kepada kekuasaanynya.

     Setelah Jayakatwang membaca surat Wiraraja, tahulah beliau akan makna ibarat yang disuarkan oleh Wiraraja dan segera bertanya kepada Wirondaya, tentang bagaimana keadaan Singhasari sebenarnya. Jawabnya, semenjak Raja Kertanagara memegang tampuk pimpinan kenegaraan, segala nasihat Mpu Raganata dan para wreddha menteri diabaikan. Para wreddha menteri digeser dari kedudukan mereka dan diganti oleh menteri muda. Sang prabu cenderung untuk menerima segala nasehat para menteri baru. Rakyat tidak puas dengan sikap demikian. Jayakatwang lalu menyakan pendapat Patih Mahisa Mundarang. Jawabnya; “Moyang Paduka, Prabu Dandang Gendis (Kertajaya), binasa akibat pemberontakan anak petani Pangkur, Ni Ndok. Itulah raja Singhasari yang pertama dan bergelar Raja Rajasa. Bala tentara Kediri sirna bagai gunung disambar halilintar. Prabu Kertajaya beserta bala tentaranya musnah karena tindakan Ken Arok. Kediri karenanya dijajah Singhasari. Padukalah yang memiliki kewajiban membangun kembali kerajaan Kediri dan membalas kekelahan Prabu Kertajaya marhum!”

     Setelah mendengar nasihat adipati Wiraraja dan pendapat patih Mundarang, Raja Jayakatwang segera mengeluarkan perintah menyerbu Singhasari. Jaran Guyang berangkat menyerang Singasari dari jurusan utara, Patih Mahisa Mundarang menyerang dari selatan. Bala tentara Daha dibawah pimpinan Jaran Guyang melintas sawah ke jurusan utara; membawa kereta, bende, gong, dan tunggul, berhenti di desa Mameling. Banyak orang desa yang ketakutan, lari mengungsi ke kota Singasari. Yang berani melawan, menderita luka parah. Utusan dari Mameling sudah sampai di istana melaporkan bahwa tentara Kediri telah sampai di Mameling, namun Prabu Kertanagara tidak percaya. Baru setelah menyaksikan sendiri para pengungsi mengalir ke kota, beliau percaya akan kebenaran laporan, namun telah terlambat. Nararya Sangramawijaya dengan bala tentaranya, yang tidak siap berperang, mendadak diperintahkan berangkat ke Mameling untuk menanggulangi musuh.

     Sementara itu, Prabu Kertanagara tinggal di pura, mengenyam kenikmatan hidup, seolah-olah tidak ada bahaya mengancam. Ditemui oleh Patih Angragani, beliau terperanjat mendengan sorak bala tentara Daha di manguntur. [17] Kidung Harsawijaya menguraikan bahwa adhyaksa Raganata dan menteri angabhaya Wirakreti memberi nasehat kepada sang prabu demikian: “Adalah haram bagi seorang raja mati terbunuh olehh tentara musuh dalam keputrian. Lawanlah musuh yang datang menyerang!” Demikianlah raja Kertanagara kali itu mengindahkan nasehat Mpu Raganata. Raja Kertanagara, Panji Anggragani, Mpu Ragganata, dan Wikreti gugur dalam perlawanan gigih melawan musuh, yang mendadak datang menyerbu kota Singasari. Sejarah Singasari berakhir dengan mangkatnya Prabu Kertanagara pada tahun 1292. Negarakretagama pupuh 43/5 mencatat bahwa Sri Kertanagara pulang ke Jinalaya pada tahun Saka 1214 (1292 M) dan diberi gelar “Yang Mulia di alam Siwa-Buddha.”

     Versi Negarakretagama dan Pararaton mengatakan bahwa Jayakatwang adalah raja Kediri perlu dibetulkan karena menurut prasasti Mula-Malurung, Jayakatwang adalah raja Gelang-Gelang berkat perkawinannya denga Nararya Turukbali, putri Sang Prabu Seminingrat atau Wisnuwardhana. Yang menjadi raja Kediri sejak tahun 1254 sampai 1292 ialah raja Kertanagara. Jadi, serangan Jayakatwang terhadap Singasari pada tahun 1292 dilancarkan dari Gelang-Gelang;[18] bukan dari Kediri seperti diuraikan dalam Pararaton dan Negarakretagama serta beberapa kidung. Prasasti Mula-Malurung mengatakan dengan jelas bahwa Jayakatwang adalah kemenakan Raja Seminingrat, jadi saudara sepupu dengan Sri Kertanagara. Baru setelah berhasil memusnahkan Sri Kertanagara, menurut prasasti Pananggungan, 1296, Jayakatwang menduduki ibokota Daha dan memerintah Singasari sebagai negara bawahan. Kidung Harsawijaya berulang kali menyebut Jayakatwang raja Kediri, sehingga utusan Bupati Wiraraja dari Sumenep datang ke Kediri untuk memberitahu sang prabu supaya serangan terhadap Singasari segera dilancarkan, kesempatan yang baik jangan dibiarkan lewat. Mahisa Mundarang memberikan nasehat yang serupa dan menyebut Jayakatwang sebaga keturunan Raja Kertajaya. Berdasarkan prasasti Mula-Malurung, utusan Wiraraja itu dikirim ke Gelang-Gelang tidak ke Kediri. Kidung Harasawijaya mengatakan bahwa Sri Kertanagara tidak khawatir tentang akan adanya kemungkinan serangan dari Kediri, karena ia percaya bahwa raja Jayakatwang tidak akan menyalahgunakan kebaikan sang prabu, yang telah sudi mengangkatnya sebagai raja Kediri. Uraian diatas tidak tepat, karena yang mengangkat Jayakatwang sebagai raja ialah Nararya Seminingrat menurut prasasti Mula-Malurung. Lagi pula, Jayakatwang tidak diangkat sebagai raja Kediri, melainkan sebagai raja Gelang-Gelang. Seperti ditunjukkan diatas, baru pada tahun 1292, Jayakatwang menjadi raja Kediri setelah menaklukkan Kertanagara.

BAB III
PENDEKATAN ANTROPOLOGI ATAS MODEL PEMERINTAHAN RAJA KERTANAGARA

     Telah diutarakan bahwa penobatan Kertanagara berlangsung pada tahun Saka 1176 atau tahun Masehi 1254. Penobatan itu harus ditafsirkan bahwa Kertanagara pada waktu itu baru dinobatkan sebagai raja muda atau yuwaraja. Hal ini terbukti dari istilah makamngalnya (di bawah pengawasan) yang sering ditemukan dalam prasasti Kertanagara sebelum tahun 1929.[19] Baru setelah raja Wisnuwardana wafat pada tahun saka 1190 atau tahun masehi 1268, maka Kertanagara mempunyai tanggung jawab penuh se bagai raja. Sejak pembentukan kerajaan Singasari oleh Ken Arok alias raja Rajasa,[20] yang pada waktu itu belum bernama Singasari tetapi Kutaraja,[21] Kertanagara adalah raja pertama dan terakhir, alias satu-satunya raja Singasari yang penobatannya tanpa pertumpahan darah.[22] Siapa namanya waktu masih kecil tidak diketahui. Baik Pararaton maupun Negarakretagama serta Prasasti Sarwadharma dan Kidung Panji Wijayakrama tidak menyebutnya. Negarakretagama dan prasasti Sarwadharma dengan tegas menyebut bahwa nama Kertanagara adalah nama abhiseka. Dalam Kidung Panji Harsawijaya, raja Kertanagara biasa disebut Siwa-Buddha.[23] Sebabnya tidak lain karena prabu Kertanagara memang mempunyai pengetahuan yang sangat mendalam tentang ajaran agama Siwa dan Buddha dan memiliki pengetahuan tentang ajaran agama.

     Dari Negarakretagamai kita ketahui bahwa perubahan nama Kutaraja menjadi Singasari terjadi dalam pemerintahan raja Wisnuwardhana di sekitar tahun Saka 1176 atau tahun Masehi 1254. Sumber sejarah lainnya tidak menyebut nama dusun Kutaraja yang kemudian berganti nama Singasari. Pararaton menceritakan hal lain, yakni bahwa Wisnuwardana mendirikan perbentengan (kota?) di Canggu Lor dalam tahun Masehi 1271. Canggu Lor terletak ditepi Sungai Brantas, dan mungkin sekali pembuatan perbentengan di Canggu Lor itu ada hubungannya dengan penyerangan atas Mahibit oleh raja Wisnuwardana, karena dapat diperkirakan Mahibut pun terletak di tepi Sungai Brantas, dekat Terung, tidak jauh dari letak keraton Majapahit dikemudian hari.[24] Negarakretagama agak panjang menguraikan pemerintahan raja Kertanagara. Sudah pasti bahwa uraian itu hanya menyinggung segi-segi yang baik saja, karena uraian itu ditulis dalam rangka pujasastra.[25] Demikianlah dari Negarakretagama itu saja, kita tidak akan memperoleh gambaran yang sekedar mendekati kenyataan peristiwa sejarah. Kecuali itu, uraiannya boleh dikatakan singkat singkat. Sumber sejarah lainnya akan sekedar menambah pengetahuan kita tentang diri dan pemerintahan raja Kertanagara. Dengan harapan, didapatkan informasi solid dan valid tentang diri dan pemerintahan raja Kertanagara. Dengan demikian pendekatan antropologi dapat dilakukan secara utuh tidak fragmentis sehingga didapatkan hasil kajian dari prespektif antroreligi, antropolitik, dan sosiokultural. Hal ini menjadi penting sebab kajian antropologi berusaha meneropong raja Kertanagara sebagai bagian dari profanitas dan bukan sakralitas sebagaimana banyak diatributkan dalam pemberitaan beberapa Serat, Prasasti dan beberapa Kidung.

     Penalaran akan profanitas raja Kertanagara dapat melahirkan paradigma baru bahwa Kertanagara bukanlah manusia adi-luhung sebagaimana disebutkan dalam inskripsi kuno. Melainkan ia hanyalah manusia biasa yang dapat saja tergelincir dalam subjektifitas dan egoisme atau dapat dikatakan juga memiliki kekurangan didalam kelebihan pemerintahannya. Hal ini akan terlihat dalam kajian antropolitik pemerintaha raja Kertanagara yang banyak mengandung paradoks. Begitu dengan pendekatan religi dan sosiokultural pemerintahan Kertanagara. 

     Dibawah ini uraian pendekatan antropologi yang telah dilakukan atas pemerintahan Kertanagara dari sudut pandang antroreligi, antropolitik, dan sosiokultural. Pendekatan antro-religi dilakukan terlebih dahulu karena pandangan religius Kalacakra[26] yang dianut Kertanagara sangatlah mempengaruhi model pemerintahan consentris yang ia laksanakan.  

1.    Pendekatan Antroreligi Atas Paham Kalacakra Raja Kertanagara

     Sebagaimana telah dijelaskan dimuka. Raja Kertanagara menganut paham Kalacakra dan paham ini dalam Negarakretagama pupuh 43/3 disebut sebagai Tantra Subuthi oleh Prapanca. Alasan dipegangnya paham ini oleh raja Kertanagara disebutkan dalam Negarakretagama lanjutan pupuh 43/3, “....demi keselamatan seluruh praja. Menghindarkan tenung, mengindahkan anugerah kepada rakyat murba...” 
Mengenai diri dan ibadahnya Negarakretagama pupuh 43/1-6 memberikan uraian sebagai berikut:

     Itulah sebabnya, baginda teguh bakti menyembah kaki Sakyamuni, teguh tawakal menjalankan pancasila, samskra, dan abhisekakrama. Tersohor nama abhiseka beliau setelah ditahbiskan sebagai Jina: Sri Jnanabajresvara. Putus dalam filsafat, tata bahasa dan ilmu lain-lainnya. Berlomba-lomba beliau menyerap seluk beluk kebatinan. Terutama tantra Subuthi, diselami rasanya merasuk kedalam hati. Untuk keselamatan negara beliau melakukan puja, yoga, samadi. Suka memberikan derma kepada rakyat dan mendirikan biara untuk para pendeta. Diantara raja-raja sebelumnya tak ada seorangpun yang setara beliau; paham akan sadguna (enam macam politik), putus dalam ilmu, dan memang ahli dalam ajaran agama. Teguh dalam menjalankan aturan agama Jina, dan tawakal dalam laku utama. Itulah sebabnya mengapa mengapa keturunan beliau semuanya ikacatra (pelindung tunggal) dan dewaraya. Pada tahun Saka 1214, beliau pulang ke Jinalaya. Oleh karena beliau putus dalam ilmu tentang upacara (kriyantara) dan ajaran agama (sarwopadesadika), segenap rakyat memberikan gelar kepada beliau: Yang Mulia di alam Siwa Buddha. Diatas makam beliau didirikan arca Siwa-Buddha, terlampau indah. Di Sagala, ditegakkan pula arca Jina, terlampau indah permai. Kecuali itu juga arca Ardanateswari bersama Sri Bajradewi manunggal. Hyang Wairocana dan Locana sebagai Lambang. Kecuali itu juga arca Ardanateswari bersama Sri Bajradewi manunggal. Hyang Wairocana dan Locana sebagai lambang merupakan arca tunggal, sangat masyhur.[27] 

     Dari keterangan diatas ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam kajian antroreligi paham Kalacakra yang dianut oleh raja Kertanagara ternyata merupakan sinkreteisme Hindhu-Buddha dan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a.      Unsur Buddha Aliran Mahayana
Unsur-unsur kemahayanaan paham Kalacakra yang dianut oleh raja Kertanagara antara lain :
 
1.   Tantra Subuthi
Dalam Negarakretagama pupuh 43/3 disebutkan, “...berlomba-lomba beliua menyerap seluk beluk kebatinan. Terutama tantra Subuthi, diselami rasanya merasuk kedalam hati...”  Mengenai Tantra ini Prof. Kern berpendapat, Subuthi adalah salah seorang pengikut Buddha. Nama itu terdapat dalam karya Mahayana yang bernama Prajna Paramita.[28] Tantra yang diikuti oleh Prabu Kertanagara dikatakan berasal dari Subuthi. Namun, menurut Slamet Muljana (2005, Menuju Puncak Kemegahan, hal. 145) dalam daftar karya mantra dari aliran Mahayana nama itu tidak kedapatan. Gelar bajra[29] yang terdapat dalam prasasti Tumpang dan diberikan kepada raja Kertanagara, memperkuat asumsi bahwa beliau ahli dalam mantarayana atau tantrayana. Dalam prasasti itu beliau bernama “Jnanesvara Bajra.” Nama tersebut didapat pula dalam Negarakretagama pupuh 43/2 dengan susunan yang agak berbeda sedikit, yakni Sri Jnanabajresvara. Nama itu nama abhiseka sebagai Jina. Atau dapat dikatakan, bila Tantra Subuthi ini dilihat dari sudur pandang antroreligi jelas bahwa raja Kertanagara lebih menerima ajaran ini karena didalamnya tersimpan unsur-unsur esoteris yang berupa paham kesamaan manusia sebagai arketipe ketuhanan dalam mikrokosmos yang bilamana seseorang telah masuk kedalamnya maka seluruh larangan dalam pancasila budhis terabaikan, sebab ia telah menjadi Jina/ Wairocana-Locana. Bhoddisatwa tertinggi yang mewujud dan lepas dari ikatan kemelakatan panca skandha manusia, dengan demikian ia hanya menggunakan kama-nya sebagai jalan hatha yoga menuju kebudhaan.[30] Pada permulaan abad ke-8 para pendeta Mahayana membawa kitab  Mahavairocanasutra ke Tiongkok dan Tibet. Sudah pasti bahwa kitab-kitab tersebut juga sampai di Indonesia sekitar tahun 1200 atau abad ke-13.[31] Terbukti dalam makamnya, Kertanagara diwujudkan manunggal dalam arca Wairocana-Locana. 

2.      Samadimantra dan Abhisekakrama
Telah diketahui bahwa mantra adalah ucapan yang mengandung kekuatan gaib. Tiap bunyi, suku atau kata, berarti pendalaman tentang kekuatan gaib sebagai unsur kekuatan Brahman (purushavatara-Hindu) atau sebagai pembangkitan energi pencerahan dari alam dharmakaya sebagai bentuk sugestif-witarka dari Sang Wairocana[32]. Tiap bunyi, suku kata yang diucapkan dalam mantra adalah unsur dari kata mutlak-parâ vâc. Mengucapkan bunyi, suku atau kata yang bersangkutan berarti membangkitkan kekuatan gaib yang terkandung didalamnya. Sebagai contoh, dibawah ini terdapat tabel namahsiwayamantra dengan tabel makna sugestif.


     Na    Ma    Si    Va    Ya
Rishi    Gautama    Atri    Vishwamitra    Angirasa    Baradwaja
Chanda    Gyatri    Anustup    Tristup    Brihati    Virat
Devata    Indra    Rudra    Hari    Brahma    Skanda
Arah    Timur    Utara    Barat    Selatan    Tengah
Swara    Udatta    Udatta    Swaritta    Swaritta    Udatta

 
r. 01
Tabel Makna Sugestif Namahsiwayamantra
Sumber : www.dharmacentral.com/articles/namahsiwayamantra.htm
 
      Dari tabel diatas jelas terlihat bagaimana mantra membangkitkan tenaga supranatural yang setiap bunyi suku katanya dianalogikakan dengan nama-nama dewata. Dengan kata lain, mantra adalah the key of power for determination of darkness illusion-mahamaya-mara to throuh the trikaya till attempt in  the enlightment of buddhahod.[33]

      Kepercayaan kepada mantra tumbuh dengan suburnya dalam aliran Mahayana. Mereka yang telah terlatih dalam samadhi[34] mempunyai kemampuan supranatural. Bagi mereka tiap bunyi, tiap bunyi yang diucapkan membangkitkan kekuatan gaib sepeti yang dimaksud. Demikianlah kombinasi pemakaian mantra, mudra dan samadhi pada hakikatnya pembangkitan kekuatan gaib dari tiga jurusan, yakni dari ucapan, gerak, dan pikiran. Pembangkitan yang demikian, bagaimanapun sangat intensif. Demikianlah sadhaka, yakni orang yang berlatih atau terlatih, mampu menguasai segala kekuatan menurut kehendak hatinya. Karena pemusatan diri kepada suatu mantra yang mempunyai pertalian erat dengan dewa tertentu, sadhaka memerintahkan dewa yang bersangkutan menitis kedalam dirinya. Akibatnya, ia memiliki kekuatan gaib seperti dewa yang dipanggilnya.[35] Penggunaan mantra dan ber-samadhi hanya dapat berhasil atas petunjuk seorang guru yang mahir dalam hal bersangkutan. Hanya guru yang demikianlah yang mempunyai wewenang untuk menahbiskan seorang murid atau seorang dik’a. Dengan penahbisan itu, murid yang bersankutan wewenang untuk turut memiliki atau menguasai kekuatan gaib. Penahbisan itu disebut abhiseka. 

     Dari penjelasan ini bila dilihat dari sudut pandang antroreligi akan menjadi kesimpulan bahwa penahbisan Kertanagara sebagai Jnanabajreswara (Negarakretagama) atau Jnanesvara Bajra (Prasasti Tumpang-Prasasti Singasari) menjadi sebentuk penteofanian[36]  diri Kertanagara sebagai nirmanakaya.

b.   Unsur Hindhu Aliran Siwa

Setelah membahas unsur kebuddhaan paham Kalacakra yang dianut oleh Kertanagara. Maka kini unsur-unsur Hindhu Siwa, yakni:

1.    Kamayoga

     Yoga diperlukan dalam menjalankan samadhi dan mantra. Yoga berasal dari kata yug yang berarti menghubungkan atman kepada Brahman (realitas tertinggi) atau dengan kata lain meleburkan diri (purusha) kedalam widyut-energi murni (mahapurusha). Dalam kajian antroreligi tindakan seperti ini disebut sebagai memanifestasikan keagungan (majestas) yang sakral kepada yang profan (being). 

Dalam paham Kalacakra dari kacamata Hindhu berarti penghubungan diri dengan realitas tertinggi (Ishvara) dengan menggunakan kama-nafsu ragawi sabagai kamasana-kendaraan jasmani menghalau maya-ilusi, hingga mencapau mahamaya-realitas ilusi, menuju moksa atau kelenyapan.[37] Moksa dalam Hindu umumnya terjadi setelah kematian, namun dalam Tantrisme Kalacakra moksa dapat dicapai bahkan sebelum kematian mengahadang. Namun untuk meraihnya diperlukan tekhnik yoga tertentu. Dalam hal ini terutama hathayoga, yakni yoga yang sangat keras, memegang peranan penting. Yogin, atau praktisi yoga laki-laki (Yogini untuk perempuan) yang sedang menjalankan yoga tersebut, harus berusaha membangkitkan ular sebagai titisan dewi Parwati sakti Siwa.[38] Ular itu akan menutup saluran tertentu dalam badan yang akan memberikan akibat kemenangan atas samsara-kesengsaraan.[39] Latihan itu disebut tantrayana, latihan membangkitkan Dewi.[40] Persetubuhan dengan dewi ular titisan sakti Siwa adalah bentuk kebahagiaan yang tertinggi yang dapat dicapai.[41] Dasar filsafat kepercayaan ini ialah bahwa realitas yang tertinggi ialah persatuan antara dua sifat yang berjenis maskulin dan feminin. Jenis maskulin adalah aspek yang tertinggi, sedangkan jenis feminin adalah aspek pembebasan. Yang pertama disebut upaya, yakni syarat. Maksudnya ialah syarat mencapai kebenaran. Yang kedua bersifat pasif, merupakan aspek pembebasan, disebut prajna. Kesatuan antara maskulinitas dan feminitas melaksanakan kesatuan transendental, mengakibatkan pembebasan dari samsara. Berdasarkan pandangan itu, maka semua dewa, Buddha dan boddhisattva mempunyai sakti yang berupa dewi atau perempuan. Kesatuan antara jenis maskulin dan jenis feminin adalah manifestasi dari prinsip tertinggi. Demikianlah dapat dipahami mengapa dalam tantrayana, persetubuhan mendapat kedudukan yang sangat tinggi, dan wanita sebagai pendukung feminitas mendapat kehormatan luar biasa. Seorang wanita yang menjadi yogini dengan sendrinya mendapat kehormatan dan kedudukan yang sangat tinggi, lebih tinggi daripada wanita biasa. Oleh karena itu, persetubuhan dengan seorang yogini dipandang sebagai salah satu jalan yang mulia untuk mencapai pembebasan. Jika dilakukan dengan awidya, mengakibatkan klesa-dosa atau leta yang merupakan perintang kejalan moksa. Terbukti dalam pendarmaannya, di Sagala Kertanagara ditegakkan arca Ardhanesvara[42] yang merupakan arca Siwa manunggal dengan saktinya, yakni dewi Parwati.

2.    Pendekatan Antropolitik Atas Pemerintahan Raja Kertanagara

     Sebagaimana diulas dalam Bab I, pemerintahan raja Kertanagara menurut Kidung Harsawijaya dibenci oleh para pembesar zaman Wisnuwardhana karena dipecat oleh Kertanagara akibat mereka menentang politik perluasan cakrawalamandala. Dendam kesumat ini menurut Kidung Panji Wijayakrama menimbulkan pemberontakan-pemberontakan politik atas pemerintahan Kertanagara. Walaupun dapat dipadamkan secara militer, secara ideologi kebencian itu mendarah daging dalam hati lawan politik Kertanagara. Kebencian dan dendam memuncak dengan pemberontakan Jayakatwang atas hasutan Dyah Wiraraja adipati Sumenep (Negarakretagama pupuh 44/4) dalang intelektual kejatuhan Kertanagara.

     Bagaimana kiranya sebab-musabab perlawanan ini lahir dari mikro menjadi makro hanya dapat dilihat dari pendekatan antropolitik atas pemerintahan raja Kertanagara. Dengan kata lain memandang pola kebijakan politik raja Kertanagaralah sebagai sebab kemunculan tindakan kontra-politik mikro yakni pemberontakan Mahisa Rangga serta Caya Raja (Negarakretagama pupuh 41/5) atau Kalana Bhaya (Paraton) yang berhasil dipadamkan Kertanagara menjadi tindakan kontra-politik makro yang akhirnya meruntuhkan kekuasaannya. Dengan kata lain, pendekatan antropolitik mengasumsikan bahwa perlawanan politik mikro dan makro itu adalah bentuk lain dari peribahasa senjata makan tuan. 

     Dikatakan demikian, walaupun Kertajaya melaksanakan politik perkawinan dengan Jayakatwang dengan harapan mempererat tali kekeluargaan antara Singasari-Kediri, melalui perkawinan antara anak Kartanagara dan Ardhraja anak Jayakatwang tidak menyebabkan dendam kesumat itu reda. Solusi Kertanagara adalah solusi politis jangka pendek yang hanya menyelesaikan masalah dalam interval waktu singkat dan tidak memberikan solusi jangka panjang.

     Pendekatan antropolitik, menguraikan pola pemerintahan Kertanaga secara kausal dari dalam personalitas-religius independensi raja Kertanagara, sebagai penyebab dari keruntuhan kerajaannya sendiri, yakni:

a.    Sikap Ahangkara

     Telah dijelaskan dimuka tentang dasar pikiran raja Kertanagara sebagai titisan Jina di kerajaan Singhasari. Terbukti bahwa sebagai Jina beliau tidak hanya menguasai kekuatan gaib di semesta alam, tetapi juga menguasai kerajaan secara nyata. Kekuasaan rohaniah dan lahiriah yang terdapat pada satu orang itu pasti saling mempengaruhi.[43]  Demikianlah, dapat diharapkan bahwa dasar pikiran raja Kertanagara sebagai Jina juga mempengaruhi politik kenegaraan yang dipeganggnya. Sebagai Jina yang menguasai kekuataan gaib di semesta alam, ia merasa kuat dan mampu menghindarkan segala bencana. Sebagai raja yang secara positif menguasai orang-orang di Keraton dan diwilayah Singasari, ia merasa orang yang tertinggi.

     Demikianlah dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Pararaton kita dapati peristiwa sejarah tentang pemecatan mahamantri patih Raganata, seorang yang bijak lagi cakap dalam melaksanakan tugasnya. Namun umurnya sudah lanjut. Oleh Wiraraja, bupati Sumenep, patih dongkol Raganata disamakan dengan harimau krepuk atau harimau tua. Mahamantri empu Raganata selalu memberikan nasihat-nasihatnya kepada sang prabu. Segala kesulitan dalam menjalankan pemerintahan secara jujur dikemukan. Tindakan-tindakan yang demikian itu tidak disukai oleh batara Siwa Buddha, kahngkaraneng bhumi. Epiteton itu mengandung pengertian bahwa raja Kertanagara mengagungkan kekuatannya sendiri. Ia sadar bahwa ia menguasai kekuatan gaib. Akhirnya, mahamantri Raganata berhenti dari jabatannya sebagai patih, dan diangkat menjadi adhyaksa di Tumapel. Pengarang Panji Wijayakrama itu melanjutkan uraniannya, bahwa raja Kertanagara bersikap ahangkara atau angkuh terrhadap siapapun juga. Artinya, ia tidak takut menghadapi siapa pun juga. Dalam hal ini, sikap ahangkara itu ditujukan kepada mahamantri bijak empu Raganata yang telah berusia lanjut. Sudah pasti ada sebabnya, mengapa raja Kertanagara serta merta menghentikan patihnya dan menggantikannya dengan Mahisa Anengah dan Apanji Angragani. Pada saat pemecatan itu, raja Kertanagara merasa seakan-akan disiram kejahatan atau bermandi kejahatan, heran mengapa empu Raganata terlalu menurutkan nafsunya, terlalu mementingkan kedudukannya. Yang terang ialah bahwa raja Kertanagara tidak dapat menerima keberatan-keberatan yang dikemukakan oleh Mpu Raganata.

     Sikap ahangkara itu ditunjukkan pula oleh raja Kertanagara kepada Kaisar Tiongkok Kubhilai Khan. Dalam bidang politik, raja Kertanagara ingin menguasai Nusantara. Sejak tahun 1275 Masehi (menurut Negarakretagama), ia telah mulai dengan pengiriman tentara keluar Jawa. Sikap ahangkara itu semakin membuncah pada saat utusan Kaisar Khan, Meng Ki mengirim surat perintah tunduk kepada raja Kertanagara. Dibalasnya surat itu dengan menyuruh memahatkan surat balasan Kertanagara pada kepala Meng Ki. Itulah sekedar contoh sikap ahangkara raja Kertanagara. Ia terlalu mengagungkan kekuasaannya sebagai Jina dan sebagi raja. Ia tidak takut kepada siapapun. Juga tidak takut kepada kekuasaan kaisar Tiongkok.

b.    Hubungan antara Kubhlai Khan dengan Kertanagara

     Setelah kaisar Kubhilai Khan melihat utusannya kembali dengan tulisan diatas dahinya, ia sangat marah. Kemudian ia menyiapkan tentaranya yang terdiri dari orang Mongolia untuk menyerbu Singasari. Ekspedisi terjadi pada tahun 1292. demikianlah pengiriman tentara Mongolia itu pada hakikatnya tidak ada hubungannya dengan undangan adipati Wiraraja dari Sumenep untuk menolong Raden Wijaya dalam memerangi raja Jayakatwang di Kediri, seperti diuraikan dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsa Wijaya. Mereka datang di Jawa untuk menghukum raja Kertanagara atas penghinaan terhadapnya, dan memaksanya untuk tunduk kepada kehendak kaisar Kubhilai. Tentara Kubhilai itu dalam Negarakretagama, Pararaton, Kidung Harsa Wijaya dan Panji Wijayakrama disebut tentara Tartar. Tentara itu jelas bukan tentara Tionghoa.[44]  


c.    Politik Perkawinan dan Gagasan Cakrawalamandala

     Dalam Record[45], karangan pendeta Buddha I-tsing dari Kanton, bahwa pelabuhan Melayu alias Jambi dalam abad ke-7 adalah pelabuhan penting untuk lalu lintas kapa-kapal yang berlayar dari dan ke Tiongkok. Boleh dipastikan bahwa pelabuhan itu dalam abad ke-13 masih mempunyai kedudukan yang sangat penting untuk lalu lintas kapal yang berlayar dari dan ke Tiongkok. Demikianlah pelabuhan Melayu itu banyak dikunjungi oleh perahu-perahu Tiongkok, perahu-perahu kaisar Kubilai. Pelabuhan Melayu menguasai pelayaran di Selat Malaka dan merupakan pangkalan untuk perluasan pengaruh Tiongkok di negeri selatan. Hal itu diketahui benar oleh raja Kertanagara. Maka, raja Kertanagara mengerahkan segala kekuatan tentara Singasari unruk merebut kekuaasaan di negeri Melayu pada tahun 1275, ketika kaisar Kubilai masih sibuk dengan usahanya menguasai Tiongkok. Diuraikan dalam Kidung Panji Wijayakrama, bahwa akibat pengerahan tentara ke negeri Melayu, melalu pelabuhan Tuban. Mereka diantar oleh patih Mahisa Anengah dan Panji Angragani. Tidaklah benar uraian Kidung Harsa Wijaya, bahwa pamalayu itu digerakkan oleh keinginan merebut putri Melayu yang akan dikawinkan dengan Raden Wijaya.

     Sudah pasti bahwa raja Kertanagara mendengar berita-berita tentang serbuan tentara Mongolia di negeri Annam dan Campa antara tahun 1280 dan 1287. serbuan tentara Mongolia itu menyebabkan usaha raja Kertanagara memperkuat pembinaan persahabatan dengan negeri Melayu yang telah dikuasainya. Pada suatu saat, negeri Melayu pun akan menjadi sasaran serangan tentara Kubilai. Demikianlah pada tahun 1286, berdasarkan prasasti Amoghapasa, raja Kertanagara mengirim arca Amoghapasa sebagai hadiah kepada raja Melayu Warrmadewa. Kedatangan arca itu diantar oleh pelbagai pembesar pemerintahan dari kerajaan Singasari. Pemberian arca itu dapat ditafsirkan sebagai pemberian çakti kepada raja Melayu. Pemberian çakti itu mengandung arti memperkokoh persahabatan untuk mengahadapi kemungkinan serangan tentara Kubilai dari Tiongkok. Demikianlah raja Kertanagara berusaha membendung pengaruh Kubilai, agar jangan sampai menjalar ke wilayah Nusantara. Untuk tujuan yang sama, raja Kertanagara mengirimkan putrinya, Dewi Tapasi, untuk dikawinkan dengan raja Campa. Campa dengan ibukotanya Panduranga merupakan benteng pertama untuk membendung pengaruh kekuasaan Kubilai. Agar jangan timbul kekeruhan dalam negeri selama tentara Singasari bertugas di negeri Melayu, Ardaraja pangeran dari Kediri, diambil menantu oleh Kertanagara, serta raden Wijaya, panglima perang Singasari, dipasangkan dengan dua orang putrinya.

     Bila dilihat lebih dalam gagasan cakrawalamandala Kertanagara sebagai usaha membendung hegemoni Kubilai atas Asia umumnya dan Asia Tenggara khususnya akan lebih berdasar dan bersumber pada watak ahangkara raja Kertanagara. Beliau sadar akan keagungan dan kekuasaannya. Tidak mau menyerah mentah terhadap kaisar Kubilai. Kesadaran akan keagungan itu menimbulkan keberanian untuk menanggulangi kekuasaan dan nafsu menjajah kaisar Kubilai di wilayah Nusantara. Dalam Negarakretagama pupuh 44/3, hanya dinyatakan bahwa semua raja-raja sampai Nusantra tunduk kepada cicit batara Girinata, yakni Sri Kertanagara. Dalam Panji Wijayakrama, tidak disebutkan kekuasaan raja Kertanagara didaerah seberang. Yang tersebut dalam pupuh VII/153 ialah kekuasaan raja Kertarajasa Jayawardana setelah pengusiran tentara Tartar dan sekembalinya tentara Singasari dari Melayu di bawah pimpinan Kebo Anabrang. Sedangkan politik perkawinan Kertanagara, baik kedalam mandala Singasari dan keluar, bukanlah usaha membendung hegemoni Kubilai melainkan sebagai upaya peredam  kemungkinan pemberontakan. Demikianlah landasan politik perkawinan didalam negeri merupakan persiapan keamanan kerajaan, penegelakan pemberontakan.[46]

d.    Ekspedisi Pamalayu

     Ekspedisi Pamalayu merupakan manifestasi gagasan cakrawalamandala raja Kertanagara sebagai bumper atas hegeomoni Kubilai di Asia Tenggara. Negarakretagamai pupuh 41/5 menyebut pengiriman tentara oleh Kertanagara untuk menaklukkan Melayu pada tahun Saka 1197 atau tahun Masehi 1275. Pada pupuh 42/1, Negarakretagama kembali menyebutkan pengiriman kembali tentara Singasari atas perintah Kertanagara untuk menaklukkan Bali. Ekspedisi kedua ini berhasil dan mengantarkan raja Bali sebagai tawanan perang.[47] Dilihat dari sudut antropolitik, secara jangka pendek raja Kertanagara sepintas berhasil melaksanakan politik cakrawalamandala namun bila dilihat efek politik terhadap stabilitas dalam negeri negatif karena bermunculan pemberontakan mikro (Mahisa Rangga dan Cayaraja) serta pemberontakan makro (Jayakatwang).

e.    Pemberontakan (Mikro-Makro) Atas Raja Kertanagara Sebagai Kausal Keruntuhan Singasari

     Telah dijelaskan secara singkat diatas bahwa ekspedisi Pamalayu rancangan raja Kertanagara menimbulkan tindakan kontra-politik sejak ekspedisi itu masih berupa gagasan perluasan cakrawalamandala. Tindakan-tindakan kontra politik yang dilakukan para wreddha menteri menyebabkan mereka harus rela dilengserkan oleh raja Keranagara keposisi yang lebih rendah. Berita Kidung Harsa Wijaya dan Kidung Panji Wijayakrama menguaraikan pemecatan para wreddha mantri yang dimulai dari pemecatan patih Raganata, demung Wiraraja, dan tumenggung Wirakreti. Pengalihan posisi dari para wreddha menteri ke para yuwa menteri itu menyebabkan nestapa dalam hati pujangga Santasemereti, sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan pura keraton Singasari dan memilih bertapa di hutan. 

     Tak ayal pemecatan itu menimbulkan pemberontakan dari orang dalam keraton yang tidak terima atas keputusan sang prabu, pemberontakan Cayaraja/Baya/Bhayangkara pada tahun Saka 1192 atau 1280 Masehi. Slamet Muljana menafsirkan pemberotakan ini sebagai pemberontakan atas pemecatan Mpu Raganata dan para wreddha menteri lainnya sebab mengingat makna literer cayaraja adalah “bayang-bayang raja atau pelindung raja”, bhaya adalah singkatan dari bhayangkara yang berarti “pelindung, penjaga keselamatan.”[48]

     Pemberontakan tak hanya berhenti sebelum ekspedisi Pamalayu dijalankan, lima tahun setelah tentara Singasari menyerang Melayu, yakni tahun 1280. Mahisa Rangka memberontak kepada Kertanagara, pemberontakan ini jika secara jumlah fisik merupakan pemberontakan mikro namun dari segi politik, pemberontakan ini merupakan kontinuitas dari pemberontakan Cayaraja. 

     Skala pemberontakan yang semakin membesar bukannya membuat Kertanagara sadar akan kekeliruan kebijakan politik yang ia ambil malah ia semakin bertindak gegabah dengan mengirimkan kembali pasukan Singasari untuk menaklukkan Bali. Sejak pengiriman pasukan Singasari pertama ke Melayu kekuatan militer penjaga keraton di Singasari telah menipis apalagi ditambah pengiriman tentara Singasari ke Bali. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Wiraraja, menurut Kidung Panji Wijayakrama segera ia mengutus Wirondaya untuk mengirimkan surat kepada Jayakatwang penguasa Gelang-Gelang yang berisi hasutan bahwa inilah momentum tepat untuk menyerang Singasari karena tak ada lagi pelindung militer disekeliling Kertanagara yang ada hanya “harimau tua,” Mpu Raganata. 

     Walaupun ekspedisi ke Bali berhasil, namun tidak dengan perlindungan raja Kertanagara di Singasari sendiri. Taktik dua arah yang dilancarkan Jayakatwang atas Singasari. Kertanagara gugur dan mengakhiri dinasti Rajasa Singasari.

3.    Pendekatan Sosiokultural Atas Pemerintahan Raja Kertanagara

     Uraian dari pendekatan antroreligi dan antropolitik diatas telah cukup menggambarkan watak sosial raja Kertanagara. Sifat ahangkara yang berlebihan atas pentahbisannya sebagai Jina melahirkan paradoks, alih-alih Kertanagara ingin menunjukkan kekuatan dan keagungannya (majestas) sebagai raja ternyata malah melahirkan sikap egoisme yang justru akhirnya menciptakan determinan antara dirinya dengan para pembesar-pembesar andalnya. 

     Pemecatan para wreddha mantri manimbulkan kebencian dihati rakyat, yang kemudian menimbulkan pemberontakan-pemberontakan baik mikro maupun makro. Secara sosial, Kertanagara mempersempit ruang gerak publik dan merampas hak bersuara dan mengeluarkan pendapat dikalangan warganya.[49] Bukannya menanggapi dengan memberikan alasan logis, malah ia semakin menunjukkan gelagai kediktatoran dengan memecat para punggawa ahli keraton. 

     Gagasan cakrawalamandala yang terwujud dalam ekspedisi Pamalayu menimbulkan kekhawatiran dalam diri para wreddha mantri akan timbulnya pemberontakan berskala besar. Tanggapan Kertanagara atas permasalahan ini hanya berupa tindakan solusi politik jangka pendek yaitu perkawinan politik.

     Jelasnya, keruntuhan Singasari disebabkan oleh tindakan gegabah raja Kertanagara, hilangnya simpati rakyat atas pemerintahan yang dikendalikannya serta semakin menipisnya kekuatan militer pelindung keraton Singasari. Terlepasnya Kertanagara dari makna kultural yang seharusnya menjadi landasan pijakan membuatnya lari terlalu jauh dari garis lingkar konsensus hukum agama Hindu-Buddha sebagai patokan hukum sosiokutural Sehingga memudahkan pemberontak untuk menaklukkan Kertanagara baik dari segi politik, religi, dan sosial.   
 
BAB IV
PENUTUP

1.    Kesimpulan

     Kerajaan Singasari masa pemerintahan raja Kertanagara jika dilihat dari sudut pandang antropologi dari prespektif antroreligi, antropolitik, dan sosikultural melahirkan tiga kesimpulan, yaitu:

Pertama    :     Secara antroreligi, masa pemerintahan Kertanagara pada abad ke-13 tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ajaran tantrisme Vajrayana yang disebutkan dalam Negarakretagama pupuh 43/3 sebagai Tantra Subuthi. Aliran ini dipeluk oleh Kertanagara dan melegitimasikan dirinya sebagai Jina, Wairocana-Locana serta Ardhanaresvara.

Kedua       :     Secara antropolitik, raja Kertanagara adalah raja yang seringkali mengambil kebijakan politik out of state dari pada in of state. Kertanagara selalu memandang bahwa ancaman negara Singasari berasal dari luar (Mongolian Empire) dan tidak mengindahkan bahaya dari dalam negeri (Pemberontakan Jayakatwang).

Ketiga       :     Secara sosiokultural, masa pemerintahan raja Kertanagara adalah masa kegemilangan secara politik (ekpedisi Pamalayu) namun meninggalkan ironi dalam hubungan sosiokultural. Walaupun Kertanagara ditahbiskan sebagai Jina, bukannya menerapkan dharma kebuddhaan dengan mengayomi rakyat melainkan semakin mempersempit ruang gerak publik dengan merampas hak mengutarakan pendapat rakyatnya. 

2.    Saran

Melihat kesimpulan kajian antropologi atas pemerintahan raja Kertanagara atas Singasari diatas baik secara antroreligi, antropolitik, dan sosiokultural. Maka kami hanya ingin menyarankan untuk tidak mengulangi pola pemerintahan seperti masa raja Kertanagara yang terlihat jaya diluar negara namun bobrok dalam konsolidasi sosial sebagai bangsa dan negara yang berdaulat. Hendaknya hal ini benar-benar diperhatikan terutama para pemimpin politik tanah air.


Daftar Pustaka
Anand Khrisna, 2007, Soul Quest, Journey from Death to Immortality, Bali Post Group.
Brandes, “Oud – Javaanansh Oorkonden. Negalaten tran-skripties van wiljen, uitgegeven door Dr. N.J. Krom. Batavia: Albrecht & Co.,” s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1913 (VBG, IX)
C.C. Berg, “Kidung Sunda: inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen”, BKI, 83, 1927
C.C. Berg, Early History of Singasari, Artikel terbitan The Journal of Java’s Ancient History, 1872.
C.C. Berg, De Geschidenis vun a pril Majapahit II.
Frank Morales, 2001, Sign of Sing The Mantras in Buddha, Artikel.
George Ritzer-Douglas J. Goodman, 2003, Teori Sosiologi Modern, Edisi ke-6, Jakarta: Kencana.
Kern, Mudra in Borobudur Temple Face Air, 1928, Artikel.
Marwati Djoened P. & N. Notosusanto, 1984, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta; PN Balai Pustaka.
Mircea Eliade, 2002, Sakral dan Profan, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
N.J. Krom dalam Veralagen en Mededeelingen Kon. Acad. van Wetenschappen. afd. left. 5 de Reeks, II, tahun 1916
N.J. Krom, “Dekoperplaaten van Batoer”, TBG, LVII
Pigeaud, 1967-1968, Literature of Java, Jilid I, The Hague.
Slamet Muljana, 2005, Menuju Puncak Kemegahan, Yogyakarta; LKIS
Slamet Muljana, 2006, Sriwijaya, Yogyakarta: LKIS
Slamet Muljana, 2006, Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta;LKIS
Sumatijnama, 2003, Sang Hyang Kamahayanan Mantranaya dan Sang Hyang Kamahayanan, Jakarta; Yayasan Bhumisambhara
V. R. Ramachandra Dikshitar, The Lalita Cult, Motilal Banarsidass Publishers Pvt. Ltd. (Delhi, 1942, 2d ed. 1991, 3d ed. 1999).
W.P. Groeveldt, “Notes on the Malay Archipelago and Malacca”, compiled from Chinese Sources.
www.dharmacentral.com/articles/namahsiwayamantra.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/ardhanaresvari
http://en.wikipedia.org/wiki/mongolian_empire
http://id.wikipedia.org/wiki/Prajna_Paramita_Hrdaya_Sutra

________________________________________
[1]Didalam Prasasti Pakis Wetan terdapat kata makamañgalya. Istilah makamañgalya biasa disalin dengan ‘dibawah pengawasan’. Istilah itu dipakai juga oleh Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani dalam prasasti Brumbung yang berangka tahun 1329 dan didalam prasasti Prapancasarapura. Didalam prasasri itu disebutkan bahwa Tribhuwanatunggadewi dikeluarkan ‘dibawah pengawasan’ perintah Bhattara Kertarajasapatni (istri Kertarajasa). Didalam contoh ini, ratu Tribhuwanatunggadewi mengeluarkan perintahnya pada waktu orang tuanya, yang menjadi raja sebelumnya masih hidup. Dengan kata lain bila dianalogikakan Kertanagara memerintah Daha dengan makamangalya-di bawah pengawasan dari raja Wisnuwardha atau dapat dikatakan ia menjadi yuwara (raja muda). Untuk keterangan lebih lanjut, lihat N.J. Krom, “Dekoperplaaten van Batoer”, TBG, LVII, 1919, hal 161-166.  
[2]Atau setahun sebelum kematian Wisnuwardhana, yakni tahun 1269, karena pada tahun itu Kertanegara mengeluarkan sebuah prasasti yakni prasasti Sarwadharma (1269) yang didalamnya tidak ditemukan kata makamañgalya sebagaimana biasa ditemukan dalam prasasti keluaran Kertanagara sebelum tahun 1269. “Oud – Javaanansh Oorkonden. Negalaten tran-skripties van wiljen Dr. J.L.A. Brandes, uitgegeven door Dr. N.J. Krom. Batavia: Albrecht & Co.,” s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1913 (VBG, IX) LXXIX.
[3] Berdasarkan pemberitaan Negarakretagama, nama Singhasari baru dikenal setelah Kertanagara menjadi raja, sebelumnya bernama Kutharaja (Negarakretagama pupuh 41/3).
[4] Gelar Siwa-Buddha dinyatakan pada prasasti Wurare, 1289, dan Negarakretagama 42/5. Naskah Singhalanggala prosa cod., 31.166 dan kakawin cod. 30.167 dalam Dr. Pigued, Literature of Java vol. I hlm. 191, adalah cerita Buddha tentang Kama Rupini dari Singhalanggala. Mengenai bahasan ini diulas pada Bab II sub bab Tinjaun Religi. 
[5] Pemberontakan ini berasal dari para pembesar raja Kertanagara yang dipecat karena menolak gagasan perluasan cakrawala mandala. Mengenai masalah pemberontakan Cayaraja-Kelana Bhayangkara diulas lebih lanjut  pada Bab II sub bab Tinajauan Politik. Lebih jelasnya lihat Slamet Muljana, 2005, Menuju Puncak Kemegahan, Yogyakarta: LKIS, hal. 163
[6] Salah satunya putra raja Jayakatwang yang bernama Ardaraja diambil sebagai menantu Kertanagara. Perkawinan ini merupakan pendekatan politik Kertanagara demi reda dan terhapusnya dendam lama Kediri atas Singhasari. Lebih jelasnya lihat ulasan Slamet Mulyana, ibid, hal. 156-163.
[7] Jayakatwang menggantikan pendahulunya Sastrajaya (1258-1271 M) pengganti dari Jayasaba (1222-1258 M) yang diangkat oleh raja Rajasa (Ken Arok?). Dengan demikian kemungkinan bukan Kertanagara yang mengangkat Jayakatwang melainkan pendahulu Jayakatwang atas restu pendahulu dinasti Rajasa, yang juga berarti berlawanan dengan berita Kidung Harsawijaya tentang pengangkatan Jayakatwang oleh Kertanagara. Lagi pula berdasarka prasasti Mula-Malurung Nararya Seminingrat mengangkat Jayakatwang sebagai raja bawahan di Gelang-Gelang bukan Kediri sebagaimana teruraikan dalam prasasti Kudadu tahun 1292, akibat perkawinannya dengan anak dari raja Seminingrat. Lihat, Slamet Muljana, ibid, hal.176-177.
[8] Tarikh tahun 1275 diketahui tersebutkan dalam sangkalan naga bermuka rupa atau 1197 Saka pada Negarakretagama pupuh 41/5, yang berbunyi, “tersebut Sri Baginda Kertanagara membinasakan perusuh penjahat. Bernama Cayaraja, musnah pada tahun tahun Saka naga mengalahkan bulan (1192). Tahun Saka naga bermuka rupa (1197) baginda menyruh tundukkan Melayu. Berharap Melayu takut kedewaan beliau, tunduk begitu saja.” Lihat, Slamet Mujana, 2006, Tafsir Sejarah Negarakretagama, Yogyakarta: LKIS. Hal. 366.
[9] Slamet Muljana, ibid, hal. 113.
[10] Prasasti Amoghapasa, 1286, diinformasikan oleh Pof. N.J. Krom dalam Veralagen en Mededeelingen Kon. Acad. van Wetenschappen. afd. left. 5 de Reeks, II, tahun 1916, hal. 329-332 dan dikutip oleh Slamet Muljana, ibid.
[11] Saptaratna atau “tujuh permata” merupakan lambang seorang ckravartin. Semuannya dilukiskan pada alas arca Amoghapasa tersebut berupa kuda, cakra, permaisuri, ratna, menteri, hulubalang, dan gajah. Mungkin juga raja Kertanagara benar-benar mengirimkan seorang putri, dua orang pejabat, seeokor gajah, seekor kuda, senjata cakra, dan permata kepada raja Mauliwarmadewa. 
[12]Mahisa Rangkah menurut Prof. Berg (Berg, De Geschidenis vun a pril Majapahit II, hal. 203-204) sama dengan Mahisa Cempaka raja angabhaya dari Wisnuwardhana, atas dasar persamaan kata rangki dan campaka. Tafsir ini ditolak oleh Slamer Muljana, (2006, ibid, hal 163-173). Menurutnya penafsiran itu tidak sesuai dengan Negarakretagama pupuh 41/4 ataupun Prasasri Sarwadharma, karena menurutnya Mahisa Cempaka meninggal setahun setelah Wisnuwardhana mangkat 1269. Pemberontakan Mahisa Rangkah tercatat dalam Negarakretagama pada tahun Saka 1202 atau 1280, sebelas tahun setelah Mahisa Cempaka meninggal. Slamet Muljana berusaha memberikan solusi dengan hipotesisnya bahwa kemungkinan Mahisa Rangkah adalah orang dalam Singhasari yang menaruh kebencian terhadap pola pemerintahan Kertanagara yang diwujudkan dalam pemberontakan pada Kertanagara namun akhirnya dapat dipadamkan.  
[13] Surat ini tercatat persis dalam Kidung Harsawijaya dan Serat Pararaton bagian IV. Surat ini menjadi bukti bahwa pembalasan dendam itu semata-mata ditujukan kepada diri raja Kertanagara, bukan kepada pemerintahan Singhasari. Wiraraja masih memiliki simpati besar terhadap raden Wijaya (menantu Kertanagara) sebagai keturunan Bhatara Narasinga (Mahisa Cempaka). Jika Jayakatwang berhasil menggulingkan raja Kertanagara, kemudian ia akan membantu raden Wijaya untuk menggulingkan Jayakatwang. Permainan Wiraraja tercium oleh utusan Wiraraja, Wirondaya, ia menasehati Jayakatwang akan permainan busuk Wiraraja namun Jayakatwang tak menggubris. Untuk lebih jelansnya baca, Slamet Muljana, 2005, Menuju Puncak Kemegahan, Yogyakarta;LKIS, hal. 176.
[14] Isi surat ini merupakan terjemahan bebas Slamet Muljana atas naskah Kidung Harsawijaya dan Serat Pararaton bagian IV. Kemiripan diantara keduanya membuat Muljana berkesimpulan bahwa Kidung Harsawijaya merupakan tinular dari Serat Paraton Bagian IV. Lihat, Slamet Muljana, idem.
[15] Alasan penolakan ini menurut Slamet Muljana lebih bersifat politik pribadi Kertanagara yang nampak dari sikap ahangkara¬-nya atas kekuasaan Kubilai Khan. Untuk lebih jelasnya lihat, Slamet Muljana, idem, hal. 149-151.
[16] W.P. Groeveldt, “Notes on the Malay Archipelago and Malacca”, compiled from Chinese Sources, hal. 27.
[17] Dialog dan rentetan peristiwa ini diambil oleh Slamet Muljana dari Kidung Harsawijaya.  
[18] Prasasti Kudadu, 1296, lihat hal. 114
[19] Istilah makamangalnya tidak ditemukan pada Prasasti Sarwadarma (1269 M), prasasti ini dikeluarkan oleh Kertanagara sebagai bagian titahnya melepaskan daerah Sarwadharma sebagai swatantra dan terbebas dari pungutan pajak Kutaraja. Lihat, Marwati Djoened P. & N. Notosusanto, 1984, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta; PN Balai Pustaka, hal. 410.
[20] Slamet Muljana (2005, Menuju Puncak Kemegahan, Yogyakarta; LKIS, hal 119-135), memberikan tafsir baru mengenai Ken Arok. Menurutnya, bila selaput kepercayaan Hindu-Jawa yang menutupi sejarah Ken Arok itu disingkirkan dahulu, maka yang kita dapati ialah sejarah anak petani dari dusun Pangkur yang karena keberaniannya berhasil menjadi raja yang pertama di kerajaan Singasari. Peristiwa itu ganjil dalam kerangka zamannya. Justru karena keganjilannya maka pengarang Pararaton ingin memberikan tafsirannya manurut konstruksi kepercayaan Hindu-Jawa yang kuat dianut kala itu. Demikianlah sejarah Ken Arok lalu kedengaran seperti dongengan. Ken Arok memang bukan orang sembarangan, ia merupakan manusia yang multitalented serta berani menyabung untung dengan menggunakan segera daya talenta yang ia miliki dan keberanian menyerempet bahaya. Bandingkan dengan pendapat Berg, (Early History of Singasari, Artikel terbitan The Journal of Java’s Ancient History, 1872. hal. 12-45) yang mengatakan bahwa berita tentang Ken Arok dalam Pararaton sepenuhnya ahistoris.
[21] Lihat catatan kaki no. 3 Bab I.
[22] Hal ini berdasarkan asumsi bahwa terdapat kebenaran dalam pembunuhan beruntun dalam dinasti Rajasa awal menurut berita Serat Pararaton. Istilah saling bunuh-membunuh ini disebutkan dalam prasasti Mula-Malurung sebagai līna atau lebih jelasnya, kakek Nararya Seminingrat yang meninggal dibangku emas disebutkan sebagai sang lineng dampa kanaka. Untuk lebih jelasnya lihat, Marwati Djoened P. & N. Notosusanto, idem, hal. 407.
[23] Lihat catatan kaki no. 4 Bab I.
[24] Kesimpulan ini didasarkan pada keterangan di dalam Kidung Sunda (Lihat: C.C. Berg, “Kidung Sunda: inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen”, BKI, 83, 1927, hal. 135 dan seterusnya). 
[25] Pujasastra dapat dipandang sebagai kegiatan ritual Hindu yang bertujuan untuk memuja kebaikan dan kehebatan leluhur terutama leluhur raja-raja yang memerintah. Negarakretagama dibuat oleh Prapanca dalam rangka memuja leluhur raja Hayam Wuruk. Lihat Slamet Muljana, 2006, Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta;LKIS hal 285-308.
[26] Kalacakra merupakan bagian dari paham Tantrisme Vajrayana yang disebut Negarakretagama pupuh 43/3 sebagai Tantra Subuthi. 
[27] Slamet Muljana, op. cit, hal. 367-368.
[28] Kemungkinan Sutra Mahayana versi Tibetan, Prajna Paramita Hridaya Sutra
[29] Bajra adalah symbol kebijaksanaan abadi serta tak terhancurkan yang melingkupi segala sesuatu. Merupakan sebuah benda suci yang menjadi alat dalam puja lambang dari maitri (kasih saying), uppayakausalya (hukum sebab akibat) dan juga kesadaran (samyaksambodhi). Kata bajra juga berarti petir atau intan. Lihat Pandita Sumatijnama, 2003, Sang Hyang Kamahayanan Mantranaya dan Sang Hyang Kamahayanan, Jakarta; Yayasan Bhumisambhara, hal. 98.  
[30] Lihat Sutra Mahayana, Prajna Paramita Hrdaya Sutra, didalamnya disebutkan bahwa bhoddisattva Avalokitesvara memperoleh kesadaran tentang kesunyataaan dari panca skandha hingga dapat berdiam dalam kebijaksanaan sempurna-prajna paramita, dan mencapai annutara samyaksamboddi-pencerahaan kebuddhaan tiada tara (arya avalokitesvaram bhoddisattva gambhiram prajna pramitam caryam caramano vyavalokyati sma panca skandha assataca swabawa sunyam passyati sma). Lebih jelasnya lihat artikel sutra ini dalam website, http://id.wikipedia.org/wiki/Prajna_Paramita_Hrdaya_Sutra. 
[31] Tidaklah aneh jika kemudian ajaran ini dikenal di Singghasari masa Kertanagara berupa paha Kalacakra. Prapanca mengidentifikasikan aliran Vajrayana ini dengan Tantra Subuthi. Tampak ada persesuaian yang mencolok antara Vajrayana dengan praktik hathayoga dan aliran Tantrayana Subuthi yang dipeluk oleh raja Kertanagara. Negarakretagama pupuh 43/3.
[32] Lihat keterangan tentang bagaimana Trikaya dalam kosmologi Buddha mengalir dan mengemanasi dalam semesta dalam Mircea Eliade, 2002, Sakral dan Profan, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, hal. 178-185.
[33] Dr. Frank Morales, 2001, Sign of Sing The Mantras in Buddha, Artikel. 
[34] Samadhi dalam Budha Mahayana dilambagkan dalam mudra Amithaba dhyanamudra-kontemplasi pemusatan pikiran pada dasabhumika bhoddisattva. Kontemplasi dalam dyana-mudra dibahas oleh Kern dalam karyanya Mudra in Borobudur Temple Face Air, 1928, Artikel.
[35] Lihat Negarakretagamai pupuh 41/5, bagaimana Kertanagara diharapkan menjadi dewa penakluk atas kerajaan Malayu dengan harapan Malayu dapat ditaklukkan dengan kedewaan Kertanagara sebagai Jina.
[36] Mengenai teofani lihat Mircea Eliade, idem, hal. 69-74.
[37] Penggunaan nafsu-maya dalam Yoga Hindu telah lama dilakukan bahkan dikanonkan dalam kitab Kamasutra. Kitab tantris yang mengajarkan teknik-teknik penyaluran kama dengan tujuan pencapaian moksa bukan sebaliknya. Lihat, Anand Khrisna, 2007, Soul Quest, Journey from Death to Immortality, Bali Post Group. hal 12-13.
[38] Ular adalah simbol esoterisme ajaran Siwa. Shaktinya Parwati sangat cantik dalam wujud shanti namun sangat menakutkan dalam wujud krodha bila berubah menjadi Durgha lebih jahat dari dewi Kali. Mitologi ini menjadi kunci bahwa Dhurga adalah esoterisme Siwa karena secara harfiah ia bermakna “yang tersembunyi.” Lihat penjelasan tentang Durgha dalam Kitab Siwa Purana.
[39] Kemenangan atas samsara berarti kelepasan dari lingkaran reinkarnasi atau moksa. Lihat Anand Khrisna, idem, hal. 34-37.
[40] Dalam pandangan Tantrayana, jiwa manusia adalah atman, percikan terkecil dari Brahman. Bila atman berhasil melebur dalam Brahman melalui hathayoga maka ia akan menjadi mahatman atau jivan mukta. Dalam mitologi atman analog dengan deva (sinar) dan Brahman adalah devi, sehingga muncullah kesimpulan bahwa devi atau sakti (atman) adalah aspek dinamis semesta (prajna) Brahman dan Brahman adalah konstanitas semesta (uppaya) dari devi atau sakti. Dan Dikshtar menyatakan bahwa, Shakti (the Supreme Goddess as Power or Energy) is considered the motivating force behind all actio

an satu-satunya tokoh Nusantara yang “n and existence in the phenomenal cosmos. The cosmos itself is Brahman; i.e., the concept of an unchanging, infinite, immanent and transcendent reality that provides the divine ground of all being. Lihat V. R. Ramachandra Dikshitar, The Lalita Cult, Motilal Banarsidass Publishers Pvt. Ltd. (Delhi, 1942, 2d ed. 1991, 3d ed. 1999).. Hal, 85.

[41] Lihat bagaimana Kidung Harsawijaya menceritakan tentang pesta pora seks Kertanagara sebelum kejatuhaannya oleh Jayakatwang.
[42] Ardhanaresvara berarti Ishvara setengah Nara/Wanita (ard = setengah; nara = wanita; ishvara = Ishvara/Siwa. Lihat keterangan lebih lanjut dalam artikel Ardhanaresvari di website, http://en.wikipedia.org/wiki/ardhanaresvari.   
[43] Dalam kajian sosial-religi, pandangan agama dinilai dapat mempengaruhi pola pikir dan paradigma seseorang baik secara personal-intern maupun secara personal-ekstern. Kajian berdasar pada teori fungsionalisme struktural, lebih jelasnya lihat, George Ritzer-Douglas J. Goodman, 2003, Teori Sosiologi Modern, Edisi ke-6, Jakarta: Kencana, hal. 117-147. 
[44] Setelah berkuasanya Kubhilai pada tahun 1276 bahkan lama sejak Jengis Khan atas Tiongkok. Dalam ekspedisi ia tidak menggunakan orang Tionghoa, karena ia tidak menaruh kepercayaan kepada mereka. Dalam pemerintahan ia mengambil alih aparat pemerintahan dinasti Sung, namun untuk jabatan tinggi hanya digunakan orang-orang Mongolia. Orang Tionghoa dilarang memanggul senjata. Ini berarti tugas kemiliteran terlarang bagi orang Tionghoa. Lebih jelasnya, lihat artikel wikipedia tentang Mongolian Empire dalam webseite, http://en.wikipedia.org/wiki/mongolian_empire.  
[45] Uraian lokasi-lokasi persinggahan I-tsing dari Cina-Asia Tenggara-India dijelaskan secara kronologis oleh Slamet Muljana dalam Sriwijaya, 2006, Yogyakarta; LKIS, hal. 53-99.
[46] Mengenai makna tersirata dari politik perkawinan dan politik cakrawalamandala raja Kertanaga dijelaskan secara rinci oleh Slamet Muljana, idem., hal 156-163.
[47] Slamet Muljana, op.cit., hal. 366-367.
[48] Slamet Muljana, idem, hal. 163-172.
[49] Bandingkan dengan contoh kasus Reformasi Indonesia 1998 dalam Sejarah Indonesia Modern.

Sumber Tulisan:
Lokanatha. 2008. Kertanagara, Politik dan Sinkreteisme Religius Hindhu-Buddha
[online]. http://lokanatha.mmultiply.com/journal/item/3/Kertanegara_Politik_dan_Sinkreteisme_religius_Hindu-Buddha. 29- Juni-2009

Selasa, 13 November 2007

Super Vulcano di Indonesia

Krakatau dibanding dengan Super Vulcano tersebut gak ada apa-apanya. Tapi karena Krakatau meletus di saat dunia sudah modern, juga catatan sejarah mengenai Krakatau lebih banyak ketimbang Super Vulcano yang meletus ribuan tahun sebelumnya mambuat Krakatau terlihat paling dahsyat.

Mulai dari Pulau Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku Sulawesi dan terus ke Philipina, Taiwan, Jepang, Siberia, Alaska, Amerika Utara hingga Amerika Selatan dan seterusnya hingga menjadi Pegunungan yang berderet berdasarkan lempeng bumi sepanjang pasifik atau lebih dikenal dengan istilah "Ring of Fire"



Gunung Toba, Sumatra, Indonesia
Gunung Toba adalah super volcano yaitu gunung aktif dalam kategori sangat besar, meletus terakhir sekitar 74.000 tahun lalu yang kini hanyalah sebuah danau yaitu Danau Toba, Sumatra Utara, Indonesia yang merupakan bekas kaldera terbesar di dunia.

Bukti Ilmiah
Pada tahun 1939, geolog Belanda Van Bemmelen melaporkan, Danau Toba, yang panjangnya 100 kilometer dan lebarnya 30 kilometer, dikelilingi oleh batu apung peninggalan dari letusan gunung. Karena itu, Van Bemmelen menyimpulkan, Toba adalah sebuah gunung berapi. Belakangan, beberapa peneliti lain menemukan debu rhyolit yang seusia dengan batuan Toba di Malaysia, bahkan juga sejauh 3.000 kilometer ke utara hingga India Tengah.

Beberapa ahli kelautan pun melaporkan telah menemukan jejak-jejak batuan Toba di Samudra Hindia dan Teluk Bengal. Para peneliti awal, Van Bemmelen juga Aldiss & Ghazali (1984) telah menduga Toba tercipta lewat sebuah letusan maha dahsyat. Namun peneliti lain, Vestappen (1961), Yokoyama dan Hehanusa (1981), serta Nishimura (1984), menduga kaldera itu tercipta lewat beberapa kali letusan. Peneliti lebih baru, Knight dan sejawatnya (1986) serta Chesner dan Rose (1991), memberikan perkiraan lebih detail: kaldera Toba tercipta lewat tiga letusan raksasa.

Penelitian seputar Toba belum berakhir hingga kini. Salah satu peneliti Toba angkatan terbaru itu adalah Fauzi dari Indonesia, seismolog pada Badan Meteorologi dan Geofisika. Sarjana fisika dari Universitas Indonesia lulusan 1985 ini berhasil meraih PhD dari Renssealer Polytechnic Institute, New York, pada 1998, untuk penelitiannya mengenai Toba.

Berada di tiga lempeng tektonik
Letak Gunung Toba (kini: Danau Toba), di Indonesia memang rawan bencana. Hal ini terkait dengan posisi Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik, yakni Aurasia, Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Sebanyak 80% dari wilayah Indonesia, terletak di lempeng Aurasia, yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Banda.

Lempeng benua ini hidup, Lempeng Indo-Australia misalnya menumbuk lempeng Aurasia sejauh 7 cm per tahun. Atau Lempeng Pasifik yang bergeser secara relatif terhadap lempeng Aurasia sejauh 11 cm per tahun. Dari pergeseran itu, muncullah rangkaian gunung, termasuk gunung berapi Toba. Jika ada tumbukan, lempeng lautan yang mengandung lapisan sedimen menyusup di bawahnya lempeng benua. Proses ini lantas dinamakan subduksi atau penyusupan.

Gunung hasil subduksi, salah satunya Gunung Toba. Meski sekarang tak lagi berbentuk gunung, sisa-sisa kedasahyatan letusannya masih tampak hingga saat ini. Bagian yang terlempar akibat letusan itu mencapai luas 100 km x 30 km persegi. Daerah yang tersisa kemudian membentuk kaldera. Di tengahnya kemudian muncul Pulau Samosir.

Letusan
Sebelumnya Gunung Toba pernah meletus tiga kali.
  • Letusan pertama terjadi sekitar 840 juta tahun lalu.
    Letusan ini menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba, meliputi daerah Prapat dan Porsea.
  • Letusan kedua yang memiliki kekuatan lebih kecil, terjadi 500 juta tahun lalu. Letusan ini membentuk kaldera di utara Danau Toba.
    Tepatnya di daerah antara Silalahi dengan Haranggaol. Dari dua letusan ini, letusan ketigalah yang paling dashyat.
  • Letusan ketiga 74.000 tahun lalu menghasilkan kaldera, dan menjadi Danau Toba sekarang dengan Pulau Samosir di tengahnya.

Gunung Toba ini tergolong Supervolcano. Hal ini dikarenakan Gunung Toba memiliki kantong magma yang besar yang jika meletus kalderanya besar sekali. Volcano kalderanya ratusan meter, sedangkan Supervolacano itu puluhan kilometer.

Yang menarik adalah terjadinya anomali gravitasi di Toba. Menurut hukum gravitasi, antara satu tempat dengan lainnya akan memiliki gaya tarik bumi sama bila mempunyai massa, ketinggian dan kerelatifan yang sama. Jika ada materi yang lain berada di situ dengan massa berbeda, maka gaya tariknya berbeda. Bayangkan gunung meletus. Banyak materi yang keluar, artinya kehilangan massa dan gaya tariknya berkurang. Lalu yang terjadi up-lifting (pengangkatan). Inilah yang menyebabkan munculnya Pulau Samosir.

Magma yang di bawah itu terus mendesak ke atas, pelan-pelan. Dia sudah tidak punya daya untuk meletus. Gerakan ini berusaha untuk menyesuaikan ke normal gravitasi. Ini terjadi dalam kurun waktu ribuan tahun. Hanya Samosir yang terangkat karena daerah itu yang terlemah. Sementara daerah lainnya merupakan dinding kaldera.



Gunung Tambora, Nusa Tenggara Barat, Indonesia
Gunung Tambora terletak di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, tepatnya pada 8°25' LS dan 118° BT. Gunung ini termasuk gunung berapi aktif, dengan ketinggian puncak 2.850 meter.

Letusan
Letusan terdahsyat sepanjang sejarah manusia modern.
Pada tanggal 10 April 1815, Gunung Tambora meletus, memuntahkan magma hingga 100 km³, melepaskan 400 km³ debu ke angkasa hingga 44 km dari permukaan tanah
Korban letusan langsung: 117.000 korban jiwa dari tiga Kerajaan, Tambora, Pekat dan Sanggar.
Lontaran abu sejauh 1300km.
Radius suara letusan: 2600km
Endapan aliran piroklastik: 7-20m
Tsunami sepanjang pantai sejauh 1200km, tinggi 1-4m, di Maluku Tsunami hingga 2m

Pada tahun 1816, akibat letusan tersebut, suhu permukaan bumi menurun menyebabkan pendinginan global. Tahun ini dikenal pula sebagai "Tahun tanpa musim panas". Perubahan cuaca yang drastis ini menyebabkan penyebaran wabah penyakit dan kelaparan akibat gagal panen di seluruh dunia. Letusan Gunung Tambora paling tidak berdaya empat kali lipat dari letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883.

Pada saat letusan terjadi, beberapa orang Belanda yang berada di Surabaya mencatat dalam buku hariannya mengaku mendengar letusan tersebut, juga beberapa orang di benua Australia bagian Barat Laut. Mereka mengira itu hanyalah suara gemuruh guntur karena tiba-tiba muncul awan mendung yang membuat redupnya sinar matahari. Namun mereka tidak yakin karena yang mereka yakini awan, ternyata adalah asap dan debu vulkanis. Dan yang turun ke bumi bukanlah air melainkan debu dan kerikil kecil. Letusan Gunung Tambora merupakan letusan gunung terdahsyat sepanjang masa yang pernah tercatat.

Pada saat gunung Tambora meletus, daerah radius kurang lebih 600km dari gunung Tambora gelap gulita sepanjang hari hampir seminggu lamanya, letusan yg terdengar melebihi jarak 2000 km dan suhu Bumi menurun hingga beberapa derajat yg mengakibatkan bumi menjadi dingin akibat sinar matahari terhalang debu vulkanis selama beberapa bulan. Sehingga daerah Eropa & Amerika Utara mengalami musim dingin yg panjang. Sedangkan Australia dan daerah Afrika Selatan turun salju di saat musim panas.

Bahkan di Eropa selama setahun lebih matahari tidak menyinari dengan maksimal, tertutup awan vulkanis dari gunung Tambora yang dikenal didunia dengan istilah "A Year Without Summer" yang menyebabkan ribuan manusia di Eropa kelaparan, kedinginan dan jatuh korban meninggal hingga 5000 orang lebih.

Kawah
Begitu dahsyatnya letusan Gunung Tambora dapat dilihat dari bekas/sisa pecahan puncak gunung tersebut pada saat ini yang berbentuk kaldera. Lebar kaldera dari hasil ledakan, berdiameter kurang lebih 8 kilometer dan mempunyai kedalaman kurang lebih 5,6 kilometer dari bibir kawah teratas. Sisa kawah kaldera pada Gunung Tambora pada saat ini merupakan kaldera paling besar yang masih aktif di dunia.

Pemandangan Kawah Gn Tambora

Super Vulcano tidak pernah diam, walaupun terlihat pasif dan tenang, di dalam Super Vulcano magma tetap aktif.
Jadi suatu saat ke depan Super Vulcano pasti akan meletus lagi.
Tapi walau letusannya maha dasyat, namun jarak letusannya ratusan ribu tahun lagi.

Pada saat lempeng vulkanik bergerak di salah satu sisinya (spt gempa di Aceh yg menghasilkan Tsunami) maka sisi-sisi yg lain akan terus mengikuti pergeseran tsb hingga lempeng itu stabil kembali. Itu sebabnya setelah gempa Aceh, disusul loeh gempa-gempa lainnya di seluruh lempeng.

Agar lempeng vulkanis stabil harus terjadi gempa, lamanya kuantitas gempa bisa puluhan tahun kedepan. Jadi juga jgn bingung kalo gempa-gempa akan terus menyusul beruntun utk beberapa puluh tahun kedepan. Setelah lempeng vulkanik stabil, intensitas gempa akan sangat berkurang.

Jadi tidak perlu mengait-ngaitkan antara gempa, tsunami dan lainnya dengan suatu kemusyrikan, kutukan ataupun pemimpinnya, karena peristiwa seperti itu sudah ada jauh sebelum manusia ada di bumi, dimana daratan atau benua hanya ada satu, Pangaea atau Pangea ; lalu mulai retak diantara lempeng dan saling menjauh dan kemudian menimbulkan gempa dan lainnya.

Minggu, 23 September 2007

Syair Ronggowarsito

Naskah Asli dalam Bahasa Jawa

Iki sing dadi tandane zaman kolobendu

01. Lindu ping pitu sedino
02. Lemah bengkah
03. Manungsa pating galuruh, akeh kang nandang lara
04. Pagebluk rupo-rupo
05. Mung setitik sing mari akeh-akehe pada mati

Zaman kalabendu iku wiwit yen,

01. Wis ana kreto mlaku tampo jaran
02. Tanah jawa kalungan wesi
03. Prau mlaku ing nduwur awang-awang
04. Kali ilang kedunge
05. Pasar ilang kumandange
06. Wong nemoni wolak-walik ing zaman
07. Jaran doyan sambel
08. Wong wadon menganggo lanang

Zaman kalabendu iku koyo-koyo zaman kasukan, zaman kanikmatan donya, nanging zaman iku sabenere zaman ajur lan bubrahing donya.

01. Mulane akeh bapak lali anak
02. Akeh anak wani ngalawan ibu lan nantang bapak
03. Sedulur pada cidro cinidro
04. Wong wadon ilang kawirangane, wong lanang ilang kaprawirane
05. Akeh wong lanang ora duwe bojo
06. Akeh wong wadon ora setia karo bojone
07. Akeh ibu pada ngedol anake
08. Akeh wong wadon ngedol awakke
09. Akeh wong ijol bojo
10. Akeh udan salah mongso
11. Akeh prawan tuwo
12. Akeh rondo ngalairake anak
13. Akeh jabang bayi nggoleki bapake
14. Wong wadon ngalamar wong lanang
15. Wong lanang ngasorake, drajate dewe
16. Akeh bocah kowar
17. Rondo murah regane
18. Rondo ajine mung sak sen loro
19. Prawan rong sen loro
20. Dudo pincang payu sangang wong

Zamane zaman edan

01. Wong wadon nunggang jaran
02. Wong lanang lungguh plengki
03. Wong bener tenger-tenger
04. Wong salah bungah-bungah
05. Wong apik ditapik-tampik
06. Wong bejat munggah pangkat
07. Akeh ndandhang diunekake kuntul
08. Wong salah dianggap bener
09. Wong lugu kebelenggu
10. Wong mulyo dikunjara
11. Sing culika mulya, sing jujur kojur
12. Para laku dagang akeh sing keplanggrang
13. Wong main akeh sing ndadi
14. Linak lijo linggo lica, lali anak lali bojo, lali tangga lali konco
15. Duwit lan kringet mug dadi wolak-walik kertu
16. Kertu gede dibukake, ngguyu pating cekakak
17. Ning mulih main kantonge kempes
18. Krugu bojo lan anak nangis ora di rewes

Abote koyo ngopo sa bisa-bisane aja nganti wong kelut,keliring zaman kalabendu iku. Amargo zaman iku bakal sirno lan gantine joiku zaman ratu adil, zaman kamulyan. Mula sing tatag, sing tabah, sing kukuh, jo kepranan ombyak ing zaman Entenana zamanne kamulyan zamaning ratu adil

Terjemahan :

Ini yang menjadi tanda zaman kehancuran

01. Gempa bumi 7 x sehari
02. Tanah pecah merekah
03. Manusia berguguran, banyak yang ditimpa sakit
04. Bencana bermacam-macam
05. Hanya sedikit yang sembuh kebanyakan meninggal

Zaman ini ditandai dengan

01. Sudah ada kereta yang berjalan tanpa kuda
02. Tanah Jawa dikelilingi besi ,maksudnya sudah banyak rel kereta api
03. Perahu berjalan di atas awan melayang layang
04. Sungai kehilangan danaunya
05. Pasar kehilangan keramaiannya
06. Manusia menemukan jaman yang terbolak-balik
07. Kuda doyan makan sambal
08. Orang perempuan mempergunakan busana laki-laki

Zaman kalabendu itu seperti jaman yang menyenangkan, jaman kenikmatan
dunia, tetapi jaman itu sebenarnya jaman kehancuran dan berantakannya dunia

01. Oleh sebab itu banyak bapak lupa sama anaknya
02. Banyak anak yang berani melawan ibu dan menantang bapaknya
03. Sesama saudara saling berkelahi
04. Perempuan kehilangan rasa malunya, Laki-laki kehilangan rasa kejantanannya
05. Banyak Laki laki tidak punya istri
06. Banyak perempuan yang tidak setia pada suaminya
07. Banyak ibu yang menjual anaknya
08. Banyak perempuan yang menjual dirinya
09. Banyak orang yang tukar menukar pasangan
10. Sering terjadi hujan salah musim
11. Banyak Perawan Tua
12. Banyak janda yang melahirkan anak
13. Banyak bayi yang lahir tanpa bapak
14. Perempuan melamar laki-laki
15. Laki-laki merendahkan derajatnya sendiri
16. Banyak anak lahir di luar nikah
17. Janda murah harganya
18. Janda nilainya hanya satu sen untuk dua orang janda
19. Perawan nilainya dua sen untuk dua orang prawan
20. Duda berharga 9 orang perempuan

Zamannya Zaman Gila/Sinting

01. Perempuan menunggang Kuda
02. Laki-laki berpangku tangan
03. Orang yang benar cuma bisa bengong
04. Orang yang melakukan kesalahan berpesta pora
05. Orang Baik di singkirkan
06. Orang Yang kelakuannya bejat malah naik pangkat
07. Banyak komentar yang tidak ada isinya
08. Orang salah diangap benar
09. Orang lugu dibelenggu
10. Orang mulia dipenjara
11. Yang salah mulia, yang jujur hancur
12. Pedagang banyak yang menyeleweng
13. Orang berjudi semakin menjadi
14. Lupa anak dan pasangan, lupa tetangga dan teman
15. Uang dan keringat hanya untuk berjudi
16. Kartu besar dibuka, tertawa terbahak-bahak
17. Tapi waktu pulang main kantongnya kosong
18. Denger anak istri nangis tidak digubris




Senin, 10 September 2007

Krisis Minyak Dunia dan Indonesia

Saat ini dunia sangat bergantung kepada minyak bumi sebagai sumber energi. Namun, minyak bumi ini adalah sumber energi yang tak dapat diperbaharui. Sedikit yang membantah bahwa minyak bumi suatu saat akan habis dan manusia akan terpaksa beralih ke jenis energi lainnya. Yang menjadi masalah kini bukanlah apakah minyak akan habis, tetapi kapan minyak akan habis. Ini adalah yang kita sebut sebagai krisis minyak dunia.


Memperkirakan Hubbert Peak

Cara yang paling banyak digunakan untuk memperkirakan mulainya krisis minyak adalah Hubbert Peak yang diperkenalkan oleh ahli geofisika M. King Hubbert. Hubbert Peak adalah sebuah model untuk mengestimasi puncak dari produksi minyak dunia.

Pada tahun 1956, Hubbert memprediksikan bahwa produksi minyak di Amerika Serikat akan mencapai puncaknya pada tahun 1970. Dan ternyata puncak tersebut terjadi pada tahun 1971. Menurut Hubbard, cadangan minyak Amerika Serikat akan habis pada akhir abad ke-21.

Pada tahun 1971, Hubbert kembali mencoba untuk memprediksi puncak produksi minyak, kali ini untuk produksi minyak dunia. Menurut beliau, puncak produksi minyak dunia akan terjadi pada tahun 1995-2000. Prediksi ini meleset karena sampai saat ini produksi minyak dunia masih menunjukkan peningkatan. Tetapi ada kemungkinan ini disebabkan oleh faktor-faktor lain yang dapat menunda peak ini, yaitu: krisis energe 1997, perang teluk, dan resesi pada tahun 1980 dan 1990-an.

Salah satu organisasi yang paling konservatif dalam memprediksi Hubbert Peak adalah the Association for the Study of Peak Oil and Gas (ASPO). Organisasi ini pernah memprediksikan bahwa Hubbert Peak akan terjadi pada tahun 2000, 2002, 2004 dan kini mereka memperkirakan bahwa Hubbert Peak akan terjadi pada tahun 2007. Walaupun akibatnya kini banyak yang tidak mempercayai organisasi ini, perubahan tersebut terjadi karena peningkatan produksi di Rusia serta peningkatan produksi dari sumber-sumber non konvensional seperti pasir minyak.

Freddie Hutter dari Trendlines.ca –salah satu kritikus dari ASPO– berpendapat bahwa Hubbert Peak akan terjadi pada tahun 2010. Freddie Hutter juga melakukan kompilasi beberapa pendapat mengenai kapan Hubbert Peak ini akan terjadi.

Berikut adalah grafik buatan Freddie Hutter yang merupakan kompilasi dari beberapa pendapat tentang Hubbert Peak dari Exxonmobil, OPEC, EIA, IEA, Jean Laherrère, Colin Campbell (ASPO), Total, BP dan Rembrandt Koppelaar.

Peak Oil Prediction

Dapat dilihat bahwa Hubbert Peak diprediksikan akan terjadi paling cepat tahun 2007 (prediksi Colin Campbell dari ASPO) dan paling lama sekitar tahun 2050 (prediksi Exxonmobil, OPEC dan EIA). Namun perlu diperhatikan bahwa pihak-pihak yang memprediksikan bahwa peak masih lama terjadi adalah pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksploitasi minyak bumi.


Puncak Produksi di Indonesia

Di atas adalah perkiraan peak produksi minyak untuk seluruh dunia. Lalu bagaimana dengan peak di Indonesia? Menurut publikasi BP yang berjudul “Statistical Review of World Energy 2005″, produksi minyak tertinggi Indonesia terjadi pada tahun 1977, dengan rata-rata sebesar 1685 ribu barrel/hari. Setelah itu, produksi minyak Indonesia tidak pernah lagi mencapai angka tersebut. Pada tahun 2004, produksi minyak Indonesia hanyalah sebesar 1126 ribu barrel/hari. Angka ini sudah berada di bawah konsumsi BBM Indonesia yang jumlahnya sebesar 1150 ribu barrel/hari.

Berikut adalah grafik produksi dan konsumsi BBM di Indonesia dari tahun 1965 sampai 2004 berdasarkan data dari BP:

Produksi dan Konsumsi Minyak Indonesia

Menurut BP, cadangan minyak Indonesia yang dapat dibuktikan keberadaannya hanyalah sekitar 4.7 miliar barrel.

Pada tahun 2004, Kelompok Kerja Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Pokja PA-PSDA) dan Koalisi Ornop Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan mengirim sebuah memorandum kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Memorandum ini berjudul “Usulan Kebijakan Energi Untuk Keamanan Pasokan Energi Untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan”. Memorandum ini mengatakan bahwa minyak bumi Indonesia akan habis dalam waktu 15-20 tahun, gas alam dalam waktu 35-40 tahun dan batubara dalam waktu 60-75 tahun.

Sedangkan Presiden SBY sendiri mengatakan bahwa minyak Indonesia akan habis dalam 15 tahun, gas alam dalam 60 tahun dan batubara dalam 150 tahun.


Kesimpulan

Penggunaan sumber daya alam hidrokarbon, terutama bahan bakar minyak perlu direduksi untuk menghindari semakin parahnya krisis energi di masa yang akan datang. Kenaikan harga BBM tanggal 1 Oktober besok menyebabkan banyak sekali reaksi dari masyarakat. Namun sebagian besar reaksi ini memperhitungkan kenaikan harga BBM semata-mata dari sisi makroekonomi saja. Seakan-akan diasumsikan bahwa sumber daya minyak adalah sumber daya alam yang tidak akan pernah habis.

Perlu disadari oleh kita semua bahwa suatu saat BBM akan habis. Kalaupun tidak dirasakan oleh kita sendiri, anak cucu kita yang akan merasakannya. Dengan demikian, semua argumen tentang kenaikan harga BBM tanpa memperhitungkan faktor kelangkaan energi tidaklah lengkap dan perlu mendapat revisi yang menyeluruh.


Di copy dari www.priyadi.net